oleh : Naelil Maghfiroh, Izmir
Kubalik
lembaran-lembaran itu tanpa gairah. Angin yang meniup Izmir di bulan Desember menusuk
tulangku layaknya panah; menerebos bebas arah. Sudah hampir dua jam aku
bergelut dengan lembaran-lembaran sama. Aneka huruf-huruf aneh yang baru
kukenal sejak 2014 lalu memaksaku untuk berpikir lama. Memahami maksudnya saja
butuh kesabaran ekstra, apalagi mengerjakannya.
Ya,
aku kembali memperoleh tugas menulis berita dengan materi yang banyaknya tiada
tara. Harusnya ini bukan hal sulit karena menulis adalah hal yang kucinta.
Dulu.. Ya, dulunya. Sebelum aku mengenal sebuah bahasa milik negara yang baru
kutinggali dua tahun lamanya. Sekarang, menulis sungguh terasa berbeda.
Memikirkannya saja makin membuat pening kepala.
Karena
tak sanggup menahan lara, aku memutuskan untuk memasukkan lembaran-lembaran
aneh itu ke dalam tas dan mendengus tidak lega. Kencangnya angin Izmir
melemparkan pikiranku ke masa-masa sebelumnya.
Menulis, bahkan menerbangkanku ke negeri
dua benua. Apakah pantas jika kini aku memakinya?
Hidupku
tidak jauh-jauh dari majalah. Dari sanalah aku mengenal kisah. Entah dalam
bentuk komik, cerpen, ataupun cerbung. Rasanya pasti sesuatu sekali
membayangkan jika namaku kelak bisa tertulis di atas judul cerpen dalam
majalah.
Ingin,
hanya jadi sekedar ingin. Aku tak pernah beranjak untuk mencapainya hingga aku
masuk SMA tahun 2011. Itulah dimana segala-galanya bermula. Perkenalanku dengan
menulis berlanjut ke tahap ‘agak’ serius.
Tidak,
tidak.
Ini
bukan tentang Dilan dan Milea yang populer itu masa SMA nya. Bukan. Ini tentang
aku dan menulis. Ya, kami berdua saja. Meski dalam prosesnya, hubungan kami akan
terkait dengan tokoh dan faktor lain di dalamnya.
Meski
suka mengarang bebas, aku tak pernah begitu yakin dengan tulisanku. Namun
ketika cerpen pertamaku menjadi juara dalam MOS (Masa Orientasi Siswa) SMA,
itulah dimana benih percaya diriku mulai tumbuh.
Rupanya,
mengirim karya ke media atau kompetisi tidak semudah menghirup oksigen.
Tulisanku ditolak berkali-kali.
Apa
aku tidak capek? Oh, tentu saja aku capek. Aku bahkan hendak memutuskan untuk
mengendapkan tulisanku saja seumur hidup. Namun jika sebuah tulisan hanya
diendapkan, tidak sedikitpun ia akan memilik faidah. Beruntung, aku memiliki
guru-guru Bahasa Indonesia di SMA yang tidak pernah lelah memberikan semangat
kepada siswa-siswanya yang punya minat besar pada kegiatan menulis.
Cerpen pertamaku yang berjudul “Tenggelam
di Laut Kidul” dimuat di Jawa Pos Radar Banyuwangi pada tanggal 21 April 2013.
Ketika
guru Bahasa Indonesia memberiku kabar tersebut, jantungku terasa mau copot. Aku
sungguh bahagia. Walau demikian, itu juga memberi tamparan pada kedua belah
pipiku ketika seorang teman berkata, “Kamu pandai sekali memanfaatkan
penderitaan orang lain untuk kepentingan pribadimu.”
Cerpen
“Tenggelam di Laut Kidul” memang terinspirasi dari kisah teman sekelasku yang
tenggelam di laut kidul beberapa waktu silam. Namun sungguh, aku tidak ada
niatan untuk mengambil manfaat dari bencana itu. Aku sayang temanku. Tentu
saja. Aku pun ikut berduka dan sangat terluka ketika tahu dia meninggal di laut
kidul. Oleh karena aku tidak ingin ada
korban lain, kuputuskan untuk menulis cerpen itu sebagai bentuk
pencegahan melalui tulisan.
Dari
situ aku belajar bahwa menulis dan mempublikasikan tulisan memang membutuhkan
keberanian yang sangat besar. Tulisan dimuat bukan berarti puncak suka cita,
namun juga membuka peluang aneka kritikan dan cobaan.
Meski
sempat terhenti karena selorohan kawan yang menyangsikan niatku, atas dukungan
guru dan teman-teman, aku tetap lanjut menulis. Syukurlah, beberapa tulisanku
mulai lancar masuk ke kolom budaya koran lokal Radar Banyuwangi. Betul kata
guru Bahasa Indonesia-ku, “Untuk tembus memang sulit. Namun sekalinya tulisanmu
dimuat, akan lebih besar kemudahan dan kemungkinan untuk diterima lagi.”
Tentu
saja, selama kita istiqomah untuk produktif menulis dan mengirimkannya.
Juli
2013, aku dikejutkan dengan kiriman email dari majalah sastra nasional, Majalah
Sastra Horison. Cerpenku yang berjudul “Mawar Hitam” naik cetak ke kolom
Kakilangit.
Kau
tahu bagaimana cerpen “Mawar Hitam” itu lahir?
Akhir
tahun 2012, aku menulis cerpen itu untuk kuikutkan dalam sebuah kompetisi
menulis. Seluruh energi kukerahkan pada akhir tahun itu. Namun apa daya,
cerpenku “Mawar Hitam” ditolak mentah-mentah. Iseng-iseng, kukirimkan cerpenku
ke Majalah Sastra Horison. Tak peduli biar dikata bunuh diri. Ibaratnya sih,
kompetisi di ranah lokal saja sudah ditolak, apalagi nasional.
Ternyata
aku salah.
Betul
kata penulis besar di luar sana, “Tulisan akan menemukan jodohnya sendiri.”
Ini
memang soal jodoh tidak berjodoh. Tulisan yang nilainya FD, bisa jadi bernilai
AA di media lain. Memang banyak faktornya.
Menjalin
hubungan dengan menulis, membuatku banyak belajar tentang hidup. Dua contoh di
atas adalah salah sedikit dari sekian banyak cerita dibalik hubunganku dengen
menulis. Sama halnya dengan kisah Dilan dan Milea karya Pidi Baiq, hubunganku
dengan menulis pun mendewasakan.
Tahun
2014, aku lulus SMA. Dengan bara api yang menyala-nyala layaknya pawai obor
sebelum lebaran, aku mendaftar ke banyak kampus di Indonesia dan beberapa
beasiswa ke luar negeri.
Saat
SNMPTN, siswa diperbolehkan untuk melampirkan maksimal 10 prestasi. Aku ingin
sekali memenuhi semuanya. Namun, kejuaraanku tidak sebanyak itu. Guru Bahasa
Indonesia pun memberiku saran untuk memenuhi kolom prestasi itu dengan tulisanku
yang dimuat di media.
“Diterima
atau tidak, itu urusan penilai. Yang penting, masukin aja,” katanya.
Penolakan
pertamaku datang dari program beasiswa ke Jepang, Mitsui Bussan. Aku gugur di
tahap kedua.
Kukira
aku akan memperoleh penolakan berikutnya. Percaya atau tidak, penolakan satu
akan menambah ketidakpercayaan dirimu untuk diterima pada hasil seleksi lain
berikutnya.
Ternyata,
aku diterima SNMPTN pilihan pertama. Sungguh, tidak dapat kupercaya. PTN nomer
wahid di Jogja itu akan jadi almamaterku! Aku tidak jadi bermuram durja atas
penolakan Mitsui Bussan.
Aku
yakin, tulisan-tulisanku di media merupakan salah satu faktor yang membuatku
diterima di PTN tersebut.
Tidak
berhenti disitu, selang beberapa waktu kemudian, aku memperoleh undangan
interview Turkiye Burslari. Kudatang dengan segenggam bukti tulisanku yang
dimuat di media. Kebetulan, aku memang menggambil jurusan Jurnalistik untuk program
beasiswa Turkiye Burslari. Karya di media
pasti akan punya nilai, pikirku. Walaupun tulisanku itu lebih ke sastra,
aku tetap membawanya ke meja interview. Kembali kuingat tetuah guru Bahasa
Indonesia-ku.
“Diterima atau tidak, itu urusan penilai.
Yang penting, masukin aja.”
Begitulah
kisah bagaimana akhirnya menulis mampu menerbangkanku ke negeri dua benua ini.
Kedengarannya memang simpel. Ya, memang sesimpel itu. Setiap orang bisa menulis
bila mau. Dengan tekat yang kuat, aku percaya bahwa sesungguhnya menulis pun bukan
hanya mampu menerbangkan penulisnya ke negeri dua benua, namun juga kemanapun
penulis mau. Termasuk menambah bobot ke surga.
---
Angin
di Izmir masih tetap bertiup kencang ketika pikiranku kembali ke isi tas; lembaran-lembaran
materi untuk tugas menulis berita yang belum selesai. Kupandang langit-langit
Izmir melalui kaca jendela perpustakaan kampus. Mungkin ini soal waktu, kataku pada diri sendiri. Sebagaimana
perjuangan panjangku hingga tulisanku dimuat di media, pasti juga butuh
perjuangan panjang untuk membuat berita bahasa Turki-ku mendekati sempurna.
Memang
tidak mudah. Tapi pasti ada berkahnya selama kita tidak berhenti berjuang.
No comments:
Post a Comment