Oleh : Aida Nurul Barokah, Kayseri
Ini hanya sebuah alegori ….
Perkara “elegi” atas kepergian selesa bestari dalam sebuah generasi ….
Perkara “elegi” atas kepergian selesa bestari dalam sebuah generasi ….
Barangkali ada yang masih ingat dengan jargon mutlak yang dicat rapi di bagian belakang truk mini? Mulanya iseng membaca, akhirnya memori sepanjang masa. Ya, “Pripun kabare …, iseh penak jamanku to?” lengkap dengan gambar Pak Soeharto, presiden kedua negeri kita tercinta, Indonesia. Lalu hubungannya apa dengan tulisan kali ini? Ah itu lho, jawaban istrinya di ‘buntut’ truk yang lain, “Tak kandani yo nduk, jamane bojoku ki babar blas ora penak!!!”
Tidak-tidak, bukan itu maksud saya. Saya hanya mencoba mengambil gambaran dengan sangat abstrak dari generasi di masa itu yang tinggal di generasi masa kini. Bahwa generasi di masa itu mencoba menyampaikan suatu pesan dimulai dengan hal yang sangat sederhana. Melukis truk dengan gaya bersahaja, menuliskannya dengan cara apa saja.
Buatku, generasi seolah-olah terbagi dua. Ada mereka yang biasa kusebut generasi tunduk muka, serta mereka generasi tengadah wajah. Mengapa demikian? Sederhana. Keluarlah dari rumah! Boleh sembari jalan-jalan sore membeli martabak manis, atau menuju sekolah menjemput anak gadis. Angkat kepalamu hingga kaudapat melihat kedua generasi yang kumaksud. Pelanggan martabak di sampingmu itu, perhatikan kedua tangannya. Uang senilai Rp20.000,00 ia genggam di tangan kiri. Di saat “menulis” menyibukkan kelima jemari. Hem, adakah busur kaubawa? Cobalah ukur derajat menunduknya. Tunduk, bukan? Ya, generasi mendunduk dengan tulisan tanpa tinta. “Sisa tinta” buat mereka terlalu banyak, hampir satu botol penuh seperti baru.
Generasi tunduk muka menulis tanpa mengenal tinta, menunduk tanpa berkutik mata, berkelana di dunia maya. Aku tidak beralegori untuk mereka yang hanya percaya bahwa menulis di generasi ini sudah serba mutakhir tanpa pena dan kertas. Karena aku pun termasuk di dalamnya. Generasiku generasi masa kini, diberi pena ia menulis 3 kalimat, diberi telepon genggam ia menulis hingga tamat. Lalu,
“Saat aku lelah menulis dan membaca, di atas buku-buku kuletakkan kepala. Dan saat
pipiku menyentuh sampulnya, hatiku tersengat! Kewajibanku masih berjebah, bagaimana
mungkin aku beristirahat?,”
milik Imam an-Nawawi, akankah berganti redaksi di generasi ini? Saat aku lelah menulis dan membaca, di atas layar sentuh kuletakkan kepala. Dan saat pipiku menyentuh layarnya …,
Sudahlah, jika dilanjutkan pesan yang berusaha disampaikan akan menjadi lelucon belaka. Karena layar sentuh dan “layar” kertas berbeda generasinya. Sayang, generasi mutakhir ini saling melengkapi dengan tunduk wajah. Takpeduli membaca alam, tak bersosial dengan lingkungan, sudah tidak menuliskan apa yang Tuhan sampaikan lewat alam. “Pripun kabare …, iseh penak jamanku to?” Bisik generasi tengadah wajah.
Sayang, aku tidak di sana. Di generasi tengadah wajah. Di mana aku dan menulis akan berkawan bersama pena. Tidak menyisakan tinta seperti baru, tidak mengahapus galat dengan penghapus semu. Sayang, aku tidak di sana. Di generasi saling sapa. Bertukar pikiran dengan insan di luar sana. Menumpuk ilmu hingga buku takmampu menampungnya. Sayang, aku tidak di sana. Di generasi menulis setelah membaca. Membaca pikiran alam, menuliskannya ke dalam buku kecil keseharian. Engkau ada di mana? Semoga tundukanmu adalah wujud syukur akan kebesaran-Nya. Dan menulismu membubuhkan ilmu dengan tinta keabadian. Bersarang pada generasi terbaik di masa depan.
No comments:
Post a Comment