Tentang Menulisku, Adalah Tentang Kehidupanku

Hasil gambar

Oleh : Abdurrahman Al Farid, Ankara

Siang ini udara terasa hambar, tidak panas dan tidak dingin. Aku lebih suka menyebutnya hambar, karena rasanya memang aneh. Di saat bersiap memakai jaket tebal musim dingin, badan malah terasa gerah. Tapi kalau memakai jaket tipis, tubuh gemetaran karena dingin. Makanya aku kadang tidak terlalu suka dengan musim yang satu ini. Walaupun banyak orang sangat jatuh cinta pada musim yang padanya daun-daun kecoklatan mulai gugur, kadang pepohonan elok nian berubah warna menjadi merah, coklat kekuningan,hingga merah jambu indah dilihat. Tapi tetap saja, aku tak menyukai musim ini. Walaupun tak suka, aku tetap mencoba untuk bersyukur pada segala yang memberi kehidupan. Termasuk musim gugur ini, ia tetap membawa kehidupan. Dengan jatuhnya dedauan, pohon-pohon akan tetap hidup meski diterpa dinginnya cuaca. 

Siang ini tetap sama, aku harus berkutat menyelesaikan bacaan sastra Turki dengan sejarahnya yang amat sukar untuk dipahami. Walaupun sudah kubaca beberapa kali, tetap saja belum nyantol di otak. Kadang aku mengulanginya hingga puluhan kali, lalu menulisnya ulang dengan bahasa Indonesia. Agar aku benar-benar paham. Dulu aku sempat pesimis ketika mendapat pengumuman beasiswa diterima di Universitas Ankara jurusan sastra Turki. Aku sempat ragu untuk mengambilnya, karena jurusan ini adalah jurusan yang sulit bagi orang asing sepertiku. Tapi, aku mencoba untuk menanggap semua pelajaran mudah, dan akhirnya semuanya jadi mudah. Aku pun mencoba untuk tidak takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua.




“Ahmet, Jangan lupa nanti jam 2 ada pelajaran diksyon buat yabanci di ruangan Mevlut Hoca ya”. Suara serak seorang kawan dari Afrika mengagetkanku. “Eh, iyaa.. Makasih udah diingatkan. Aku bentar lagi siap-siap. Gorusuruz di ruang hoca nya”. Jawabku sekenanya. Pelajaran diksyon merupakan pelajaran tambahan bagi pelajar asing sepertiku disini. Pelajaran diksyon adalah pelajaran mengucap bahasa Turki dengan baik dan tutur yang benar. Maka untuk orang asing yang belajar sastra Turki, pelajaran diksyon harus menjadi pelajaran tambahan, walaupun tidak masuk dalam sks yang harus diambil. Aku tidak mempedulikannya, yang jelas aku suka dengan hoca yang mengajar pelajaran itu. Beliau orangnya begitu samimi, yaitu mudah akrab dengan orang lain. Wajahnya yang

mencerminkan sifat kebapakan begitu menyenangkan ketika berbicara dengannya. Pernah suatu kali, beliau bercerita tentang masa mudanya yang harus jauh dari orang tuanya untuk belajar di Ankara, karena beliau berasal dari daerah Erzurum. Beliau waktu itu harus benar-benar usaha sendiri untuk menghidupi diri dan kuliah di ibukota. Kadang kisah perjalanannya menjadi cambuk bagi diriku agar terus memompa semangat walaupun jauh dari orang tua untuk belajar. Pada pertemuannya yang pertama di ruangannya, ada perkataan beliau yang selalu aku camkan hingga sekarang, “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri”


**

Lalu lalang manusia tak henti-henti melintas di depan kampus megah yang terletak di Sihhiye ini. Orang-orang mencoba untuk masuk ke dalam kampus yang masih ditutup. Beberapa hari yang lalu ada kejadian beberapa murid yang berkelahi di kantin dengan menggunakan senjata tajam. Aku sudah sangat hafal dengan kejadian seperti ini, terlalu banyak kejadian yang sudah terlewati di kampus ini. Maka tak jarang jika kuliah sering diliburkan ketika ada kejadian yang di luar kehendak kampus seperti beberapa hari yang lalu itu. Sepertinya yang mencoba masuk ke dalam kampus adalah beberapa orang media yang ingin mendapatkan berita dari kampus. Tapi mereka tidak diijinkan oleh pihak satpam. Akhirnya jalan depan kampus ramai dan suara riuh merebak. Ditambah lagi ada sebagian mahasiswa yang melakukan aksi protes atas kejadian yang lalu itu. Ah, pusing memang memikirkan mereka. Mending sekarang menghubungi Mevlut hoca, yang hari itu pertemuan kelas dipindahkan ke kampus merkez di Tandogan. Aku sangat salut dengan Mevlut hoca, walaupun kuliah di kampus Edebiyat diliburkan tetapi beliau masih bersemangat untuk tetap memberi kuliah walaupun dialihkan di tempat lain. 

Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Perkataan Mevlut hoca memulai kuliahnya siang itu. Kata-katanya tajam menusuk ke relung jiwa.
Bagaimana mungkin orang yang pandai dalam kuliah bisa dikatakan hewan jika tidak menyukai sastra. Aku hampir-hampir tercengang. Benar-benar perkataan yang menyindir. Kami kadang yang kuliah di jurusan sastra pun tidak suka dengan sastra. Mungkin suka, tapi karena terpaksa.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”. Imbuh Mevlut hoca sekali lagi. Terlalu banyak perkataan beliau yang memang menginspirasi, sekaligus menjadi pelecut untuk menjadi seorang satrawan. Aku tercengang lagi, baru saja masuk ruangan tiba-tiba dua perkataan beliau menjadi hantaman keras pada diriku. Aku merupakan mahasiswa jurusan sastra, tetapi tidak suka menulis. Hanya suka membaca, ya, sebatas membaca buku. Namun tidak pernah menulis. Apa dikata kalau anak sastra ada yang sepertiku ini.

Lalu pelajaran berjalan seperti biasa, beliau menjelaskan materi pelajaran. Kemudian kadang kita disuruh membaca sebuah artikel berbahasa Turki. Jika masih ada salah pengucapan, beliau membenarkannya dan menjelaskan cara pengucapannya lagi dengan lebih detail. Aku selalu suka dengan suasana di kelas beliau ini. Aktif dan hangat. Percakapan antara murid dan guru tidak ada batas. Beliau pun terbuka dengan segala pertanyaan dari murid-muridnya yang kesemuanya adalah mahasiswa asing. 

Maka mulai hari itu aku mencoba perlahan untuk menulis beberapa puisi. Kadang hanya sekadar untuk menghilangkan gundah yang mendera dalam hati. Sebelum-sebelumnya tak pernah aku mengungkapkan perasaan lewat puisi. Tapi ketika mencoba untuk pertama kalinya, aku menjadi terlena dan akhirnya terbiasa. Terkadang aku mencoba untuk menulis beberapa bait dalam bahasa Turki, kemudian meminta koreksi pada Mevlut hoca. Lalu mulai hari itu, aku memutuskan untuk menjadikan Mevlut Hoca sebagai guru menulisku. Dan setelah beberapa waktu berjalan pun, Mevluut hoca juga menganggapku sebagai muridnya yang paling ia sayangi. Pernah suatu ketika beliau berkata kepadaku, “Kau Tau Ahmet, kenapa aku sayang kepadamu daripada murid-murid lainnya? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”. Kata-kata itu dingin, meresap dalam sanubari dan membuat semangatku untuk menulis semakin berkobar-kobar. 

***


Dalam rangkaian musim, aku semakin berkembang. Menjelma menjadi aku yang lain, kadang menjadi dia, atau kadang menjadi seorang yang paling tau. Ya, lewat cerita yang aku tulis. Aku lebih suka menulis tentang kejadian yang ada di sekitarku. Tentang kehidupan. Kadang menulis tentang teman baik, kadang kisah penjual simit di pinggir jalan atau bahkan kadang seekor burung yang berterbangan melewati jalan di depan kampusku. Sekarang aku mulai menemukan diriku dalam menulis. Sesekali aku masih mencoba untuk menghubungi Mevlut Hoca atas perkembangan menulisku. Sekarang Mevlut Hoca dipindah tugaskan di Universitas Ataturk di Erzurum. Beliau menyetujui karena itu adalah kampung halamannya. Beliau ingin mengabdi untuk tempat tinggalnya, begitu yang pernah beliau 
sampaikan pada perpisahannya waktu itu. Aku tak kan pernah bisa melupakan jasa beliau, beliau banyak merubahku untuk tetap menulis. “Menulis adalah buah dari sastra, maka dengannya lah sastra akan terus hidup”. Begitu kata beliau. 


Engkau merentas pada segala gundah yang menerpa 

Lalu mencoba menutupi asa yang semakin tebal,
Adakah lain yang menimbuli prasangka hati ?
Pada diri, kadang merindu adalah selaksa.
Pergi, lalu tak mengerti arah.
Pulang, lalu lupa tujuan.
Harapan terus bergulir pada masa
Himpitan kosong menjadi penuh riuh, tidak.
Aku akan tetap berjalan.

Dan menanti darimana datang bantuan. (00.16) *kutipan puisi dari buku puisiku, Hamparan
puisi pelangiku..


Beberapa tahun sudah terlewati, aku sekarang menjadi seorang pengajar sastra di Universitas Indonesia. Namun, pekerjaan asliku adalah penulis. Ya, aku lebih suka disebut penulis daripada pengajar. Beberapa buku sudah aku tulis dan diterbitkan. Aku pernah mengirimkan beberapa buku kepada Mevlut Hoca, beliau membalas dengan email ucapan bangga kepadaku. Terkadang, masa begitu cepat berlalu. Pikirku dalam hati. Waahh.. Aku dapat ide lagi untuk buku baru. Mungkin perjalanan tentang pengalaman menulisku, atau perjalanan panjang yang aku lalui di Turki. Hmm..


**


Lalu aku pun tenggelam dalam menulisku menyelesaikan buku tersebut. Dan beberapa bulan setelah itu, satu buku lagi bisa aku selesaikan lagi… Judulnya,
Terkadang, masa begitu cepat berlalu.. Tentang menulisku dan Turki .



,
Yang masih saja belajar memaknai kehidupan,
lewat menulis...  

No comments:

Post a Comment

Pages