“Dor dor dor dor”
Terdengar suara gedoran pintu dengan begitu
kencangnya. Tak lama kemudian terdengar suara yang begitu keras bertanda pintu
rumah kami telah berhasil dijebol mereka. Aku yang masih lugu, hanya bisa
menangis tak tahu apa yang terjadi. Tetesan air mata mamapun membahasi rambut
lurusku yang berwarna agak pirang itu. Terlihat raut tanda ketakutan di wajah mama,
namun jiwa pemberaninya untuk melindungi anaknya tercinta menepis semua itu.
Papa hanya mondar mandir mencari tali agar
kami bisa meloloskan diri dari kamarku yang berada di lantai 2 itu. Begitu
jelas bahwa papa yang akan selalu melindungi keluarga yang ia cintai itu begitu
panik, tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan. Suara langkah tergesa-gesa
semakin mengiang di kepalaku, lambat laun suara yang awalnya sayu itu menjadi
begitu jelas layaknya tabuh yang dibunyikan dalam upacara perang.
“Mama, aku takut….”
Rintihku dalam hangatnya dekapan mama.
Terdengar jelas detak jantung mama yang menderu lantaran rasa takutnya yang
sudah sampai ke ubun-ubun. Hanya isak tangis yang terdengar, tertunduk pasrah
menerima maut yang siap menjemput. Tak lama, papapun menemukan sprai lamaku
yang tersimpan utuh di lemari penyimpanan. Diikatnya menjadi sebuah tali yang
panjang hingga mencapai ke halaman rumahku.
“Ayo cepat, pertama-tama mama dan Steven
dulu yang turun. Papa akan berjaga disini.”
Tegas papa dengan penuh sikap kepahlawannya.
Itulah yang kubanggakan dari papa yang selalu berkorban demi keluarganya. Namun
timbul keraguan di wajah mama, ia tak rela meninggalkan lelaki yang ia cintai
sendirian. Cinta yang telah mereka pupuk dalam ikatan Ilahi, yang akan mati
tanpa datangnya hujan kasih sayang yang dinanti. Terlebih, mata hati yang
selama ini dinanti, membuatnya kuat untuk mengorbankan jiwa dan raganya demi
mereka yang ia cintai.
“Tidak pa… biarkan mama yang menunggu
disini. Papa dan steven saja yang duluan turun. Tolong percaya sama mama, aku
mencintai kalian karena-Nya.”
Pinta mama berbarengan dengan jatuhnya air
mata kami atas pengorbanannya. Mama, sekali lagi ia korbankan hidup dan matinya
untukku, yang ia cintai. Dahulu, demi datangnya aku ke dunia yang fana ini, dan
saat ini hanya agar aku bisa tetap hidup dan meraih apa yang aku cita-citakan
bersamanya.
Dengan berat hati, aku dan papa langsung
mempersiapkan diri. Sebuah kotak terbungkus kain yang seukuran badanku ditempatkan
di bahu kirinya. Lalu didekapnya aku dengan eratnya sambil mengucapkan kata
perpisahan dengan mama. Mamapun tersenyum manis padaku, semanis senyumnya saat
aku pertama kali datang ke dunia ini. Namun mungkin senyum ini adalah senyum
terakhir yang terbias dalam wajahnya.
Tak lama saat kami sedang mencoba untuk
turun, terdengar suara dobrakan pintu yang begitu kuat lalu diikuti dengan
suara tembakan pistol yang berbarengan dengan suara jeritan mama.
“Mama…!!”
Hanya kata-kata itu yang terus terucap dari
mulutku. Namun sesaat sebelum kami sampai ke tanah di halaman rumahku itu,
sebuah tembakan mengenai kaca jendela rumahku dan naasnya pecahan kaca itu
menghujani diriku yang sedang menengadah ke langit sambil memanggil-manggil nama
mama. Darah segarpun mengalir dari kedua mataku yang berwarna biru itu.
Rasa sakit tak tertahankan mendera diriku,
dan perlahan redup cahaya rembulan
memudar, dan hilang dalam bayangku. Hanya gelap yang kurasa, dan akupun
terlelap dalam dekapan hangatnya rembulan.
***
Prak….
Air mataku mengalir deras saat sebuah
tamparan mendarat di pipiku. Tidak keras memang, namun air mata itu jatuh bukan
karena sakit yang ditimbulkan oleh tamparan itu, namun karena sakit yang
menembus hingga ke lubuk hatiku. Papa yang selama ini selalu merawatku dengan
penuh kasih sayang, untuk pertama kalinya ia tega untuk menamparku. Apakah aku
yang kelewatan dan tak tahu diri? Ah tidak, papa saja yang selalu berusaha
untuk menghalang-halangi mimpiku.
Aku mencintai biola sebagaimana aku
mencintai mama. Semenjak kecil, mamalah yang selalu memainkan biola untukku.
Bahkan aku sudah hafal benar irama dan interval nada yang mama gunakan saat bermain
biola. Itu semua sudah meresap dalam sanubariku, sesuatu yang takkan terpisah
dalam hidupku.
“Apa kamu ingin durhaka dengan papamu
hah!membantah kata-kata papamu!?”
Bentak papa memecah keheningan langit. Aku
sama sekali tidak berniat untuk membantah papa. Aku hanya ingin menggenggam
cita-citaku yang telah kujanjikan pada mama di hari sebelum insiden itu
terjadi. Aku sadar akan kekuranganku, mungkin terlihat konyol baginya, tapi
tidak bagiku. Keterbatasanku ini bukanlah penghalang bagiku untuk meraih cita-citaku.
Dan aku akan terus berdiri tegak dalam pendirianku ini, tak akan goyah walau
ombak menghadangku. Namun tiba-tiba teriakan papa memecah lamunanku.
“Masih mencoba melawan ya kamu? Pasti ini
yang membuat kamu menjadi anak yang durhaka dengan papamu”
Kemarahan papa semakin menjadi-jadi. Biola
yang ada di tanganku pun diambilnya dan dibanting dengan sekeras-kerasnya
hingga ada bagian-bagian yang rusak. Akupun berlutut lemas meraba-raba untuk
mencari biola yang merupakan hadiah terakhir dari mama kepadaku dan merupakan
simbol janjiku kepada mama.
“Papa Jahat, tidak seperti mama!”
Akupun berlari ke sebuah ruangan kecil yang
bisa disebut kamar untuk rumah kami yang hanya berbentuk 3 petak dalam kawasan
kumuh itu. 1 petak untuk dapur dan kamar mandi, 1 petak untuk tempat tidur dan
lemari, dan 1 petak lainnya untuk ruang tamu sekaligus ruang kerja papa yang
sehariannya menjadi tukang jahit. Kupeluk erat-erat biola kesayanganku itu,
lalu ku tertidur dalam derai air mataku.
***
Dalam hembusan angin malam, hanya
serpihan-serpihan asa yang melayang mengikuti arah angin berlalu. Cahaya redup
rembulan hanya mampu memberikan pelita bagi mereka yang merindukan cahayanya.
Kubenamkan dalam-dalam kepalaku pada
sajadah lusuhku. Doa dan muhasabah senantiasa menghiasi sujudku. Memeluk islam
dalam Negara liberal seperti Perancis ini memang merupakan hal yang tidak
mudah. Cacian dan hinaan senantiasa mampir di telingaku setiap harinya.
Khususnya untuk diriku yang cacat ini.
Namun agama dan keterbatasan ini bukanlah
sebuah penghalang bagiku untuk meraih cita-citaku ini. Mataku memang tak bisa
melihat indahnya pelangi, namun cukup bagiku untuk menikmati indahnya sanubari.
Aku memang tak bisa melihat kecantikan menara eifel yang ketenarannya merambah
ke penjuru bumi, namun kecantikan hati adalah kecantikan hakiki yang
keindahannya abadi hingga ke akhirat nanti. Aku memang tak bisa melangkah pada
satu arah yang pasti, namun derap langkahku cukup tuk menghantarkanku menuju
mimpi-mimpiku.
Terdengar suara batuk papaku, memecah
kebisingan malam. Namun tak kuhiraukan, toh aku sedang ngambek dengannya. Doa
dan munajat terus kupanjatkan agar ia bersemi layaknya mekarnya bunga tulip di
musim semi ini.
***
2 hari sudah aku menjalani kegiatanku tanpa
bicara sedikitpun dengan papa. Namun entah mengapa pagi itu hatiku begitu
tenang dan bahagia. Seusai memanjatkan doa di sholat tahajjudku, tiba-tiba papa
mengajakku untuk melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Seusai sholat,
“Maafkan papa ya atas tindakan papa 2 hari
yang lalu. Ini uang 50 euro untuk biaya pendaftaran lomba instrument di musim
panas ini”
Tegur papa sambil memberikan kepadaku uang
pendaftaran lomba yang selama ini aku damba-dambakan. Langsung kuhamburkan
tubuhku dipelukan papa yang begitu aku cintai. Ternyata ia terenyuh dengan
munajat di malam-malamku saat itu. Dan ternyata alasan mengapa papa jarang
terlihat di rumah, karena ia melakukan kerja sambilan yang jumlah gajinya itu
ia berikan kepadaku untuk biaya lomba instrument. Akupun mengucapkan
terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepadanya.
“Eits, tapi ada satu syarat”
Serga papa mengagetkanku di sela-sela
kebahagiaanku. Ada apa lagi ini papa, pake syarat-syarat segala.
“Kamu haru menang. Janji?”
“JANJI”
***
Suara riuh penonton menggelegar membuat
bulu kudukku berdiri. Bagaimana tidak, ternyata festival ini bukanlah festival
sembarangan dan kecil-kecilan. Begitu banyak para musikal terkenal hadir
meriahkan festival ini. Dari 43 peserta, akulah peserta terakhir yang akan
tampil, karena sempat terjadi perang urat syaraf antara papa dengan panitia
pelaksana lantaran diriku yang cacat ini. Namun dengan usaha papa, akhirnya
panitia mengizinkan aku untuk tampil di urutan ke-43. Akupun hanya bisa terdiam
menikmati alunan musik yang dibawakan oleh Leonardo, seorang pianis terkenal di
Paris yang menempati urutan 42.
*background music “Brahm megamix”
Tepuk tangan bercampur haru bergelora
seantero stadium. Ribuan penonton yang datang ke festival inipun tak mau kalah
riuhnya demi mengapresiasikan karya seni yang baru saja dibawakan oleh
Leonardo. Bagaimana tidak, Leonardo adalah seorang pianis yang namanya sudah
terkenal hingga ke mancanegara. Bahkan, alasan kenapa Leonardo menempati urutan
“hampir” terakhir itu adalah ulah panitia yang ingin mempersembahkan bintang
tamu yang tak kalah populernya dengan bintang sepak bola.
Aku yang mendengarkan lantunan musik itu,
terkagum kagum dalam hati. Bukan hanya itu, tiba-tiba kakiku bergetar lantaran
minder dengan apa yang ada pada diriku. Bagaimana mungkin aku bisa menandingi
dia yang sudah professional itu. Tiba-tiba papa menepuk pundakku dalam
senyumnnya seraya berkata :
“Kamu lebih baik dari dia, gunakan potensi
yang ada pada dirimu. Jangan kecewakan papa dan mama”
Mendengar papa membahas nama mama, tak
terasa air mataku mengalir. Bagaimana tidak, simponi yang akan aku bawakan saat
ini adalah instrument Canon yang secara spesial diaransment oleh papa dan mama
di hari kelahiranku. Dan instrument ini adalah instrument yang selalu mama
mainkan untukku di kala aku kecil. Di saat aku ingin tidur, ketika bangun
tidur, ketika aku menangis, dan kapanpun ada mama, pasti ia selalu membuatku
tersenyum dengan instrument itu. Instrument yang sudah masuk ke darah dagingku,
sehingga walaupun aku tak bisa melihat, namun aku masih mampu memainkannya
lebih baik dari yang mama mainkan untukku.
“Peserta selanjutnya, seorang newbie yang
mencoba mempersembahkan sebuah instrument biola dalam kecacatan, kita sambut
“Si buta” Steven….”
Sekejap stadium menjadi sepi, hanya riuh
angin malam yang membisik kalbuku. Penontonpun hanya bisa diam seribu bahasa
saat mendengar julukan diriku. “Si Buta”. Ya, itulah julukan yang diberikan
oleh pembawa acara untukku. Hatiku teriris bukan main. Teganya dia
mendiskriminasikan diriku.
“Aku memang buta, namun hatiku tidak buta.
Aku bisa memainkan musik lebih baik dari Leonardo si pengecut itu. Lihat saja
akan kubuktikan kemampuanku. Akan kubuat kalian tercengang mendengarkan alunan
biola yang kumainkan…”
Gerutuku dalam hati. Namun melihat ekspresi
wajahku yang mulai berubah, papa mendekatiku dan mengusap-usap rambutku.
“Tenang Steven. Musik itu adalah biasan
perasaan hati untuk menenangkan hati-hati yang keruh. Bila hatimu saja sudah
keruh, bagaimana mungkin kamu bisa menenangkan hati mereka?”
Akupun sadar dengan kesalahanku. Aku
kembali teringat satu hal. Ya, orang yang paling aku cintai, akan
kupersembahkan alunan musik ini, untuk mama yang tenang di surga sana…
***
“Apa…?Kenapa tiba-tiba aku
didiskualifikasi?Ini sungguh tidak adil…!!
Hardik aku kepada panitia yang akan
mendiskualifikasikan aku lantaran kecacatan yang ada pada diriku. Sungguh, aku
tidak menerima ketidakadilan ini. Bukankah diperaturan lomba tidak ada syarat
terbebas dari kecacatan? Bukankah aku sudah berhasil melaju ke babak grandfinal
menyusul si Leonardo sialan itu?
Dimana letak keadilan?Apakah selamanya
orang yang cacat akan diperlakukan tidak adil seperti ini? Aku juga manusia,
punya hati dan perasaan. Jangan seenaknya saja memperlakukan aku seperti ini.
Apa mereka tidak berfikir seandainya saja mereka berada pada posisiku saat ini?
Relakah mereka aku perlakukan seperti ini?
“Maaf, ini sudah keputusan panitia, tidak
bisa diganggu gugat. Kecuali kalau memang saatnya tiba, anda bisa datang dalam
keadaan tidak cacat. Hahaha…”
Keterlaluan mereka. Menjadikan aku sebagai
olok-olokan. Memangnya siapa mereka? Hanya sekedar panitia yang
menyelenggarakan lomba ini. Akupun merasa ada yang tidak beres disini. Namun
ketidakberdayaanku menepis semua kemungkinan yang terjadi. Aku hanya bisa
pasrah dan pulang dengan tangan hampa. Hanya berharap sebuah keajaiban dari
Allah datang kepadaku merubah nestapa hidupku ini.
***
Satu minggu berlalu semenjak babak
kualifikasi itu, hanya tersisa 3 hari menuju babak grandfinal. Hari-hariku
hanya dipenuhi oleh tangis dalam sujud-sujudku, bukan semata-mata karena
kekurangan dalam diriku, namun karena aku merasa tak mampu bahagiakan papaku.
Aku bersyukur walau aku hidup dalam serbakekurangan ini, karena aku masih
memiliki papa yang begitu menyayangiku.
Kenangan tentang tragedi beberapa tahun
lalu kembali menghantuiku. Rasa rindupun menyeruak menghiasi kalbuku. Mama…
mengapa begitu cepatnya kau tinggalkan diriku. Andai saat ini engkau di sisiku,
maka cukuplah bagiku dirimu.
Lalu sebuah tanda Tanya besar datang ke
pikiranku. Siapa orang-orang yang datang ke rumah kami saat itu? Lalu apa
sebenarnya tujuan mereka? Mengapa mereka tega-teganya membunuh mama? Saat semua
Tanya itu begitu hebatnya mengguncang jiwaku, papa mengagetkanku dengan
senyumannya yang khas.
“Kita ke dokter yuk buat sembuhkan mata
kamu. Papa punya kenalan dokter yang bisa menyembuhkan penyakit kamu”
Ke dokter? Dokter mana, bukankah kita tidak
punya cukup uang untuk pergi ke dokter? Sembuhkan mataku? Memangnya bisa?
Akupun terdiam dalam rasa penasaran yang menggebu. Kenapa tiba-tiba papa
mengajakku untuk ini semua?
“Gak mau nih? Katanya mau bahagiain papa
dengan memenangkan lomba ini?”
Dengan seribu Tanya yang bersarang di
benakku ini, akupun mengiyakan permintaan papa. Berharap ini semua adalah
keajaiban yang diberikan oleh Allah untukku.
***
“Dimana aku?”
Teriakku saat melihat sebuah ruangan yang
penuh dengan warna putih. Apakah aku sudah mati? Ataukah ini hanyalah mimpi?
Kucoba menampar pipiku, awh sakit. Ada yang aneh dengan diriku. Ah iya, ruangan
putih dengan pakaian serba putih? Ya, aku bisa melihat semua warna itu, aku
bisa melihat kembali. Kucoba melayangkan pandanganku ke sebuah pintu yang mulai
terbuka, dan tampaklah sesosok yang juga menggunakan pakaian serba putih.
Apakah dia malaikat? Kucoba terawang
wajahnya, bukankah ia adalah Dokter Edward sahabat dekat papa yang dulu sering
datang main ke rumah kami saat mama masih hidup?
“Dokter Edward?”
“Ya, kamu masih ingat saya Steven? Ternyata
kamu sudah besar dan tampan seperti ayahmu saat masih muda dulu”
“Papa dimana Dok..?”
“Papa lagi ada urusan katanya. Kamu sudah
sembuh kan? Ayo kita langsung bergegas ke perlombaan, jangan sampai telat.
Tenang saja papa nanti datang menonton kok katanya.”
Akupun segera mengganti pakaianku dan bersiap
untuk datang ke perlombaan. Masalah administrasi perlombaanpun sudah diurus
oleh Dokter Edward. Sepanjang perjalanan terus bertanya perihal papa, dimana ia
sekarang, apakah ia baik-baik saja? Lalu bagaimana aku bisa melihat seperti
ini? Namun Dokter Edward hanya menjawab dengan senyumnya, bahwa ini semua
adalah anugerah dari Allah yang maha kuasa. Karena sebuah kantuk yang tak
tertahankan, akhirnya akupun tertidur di dalam mobil.
***
“Eh si buta ternyata masih berani datang
kesini?”
Ejek Leonardo membuatku kesal. Bagaimana
tidak, senyuman liciknya itu benar-benar membuatku muak dengannya. Akupun
merasa bahwa apa yang terjadi padaku ini semuanya adalah ulah dari Leonardo
yang takut kalah saing denganku. Ia ingin menyingkirkanku dengan alasan diriku
yang cacat ini. Tak tahan dengan kelakuannya, akupun hampir saja memukulnya
bila tidak dipisahkan oleh Dokter Edward.
“Jangan mencari masalah, hati-hati
dengannya”
Bisik Dokter Edward padaku. Akupun semakin
penasaran dengan maksud dari Dokter Edward. Namun untuk mencari amannya, aku
akan bersabar hingga Dokter Edward menceritakan semuanya kepadaku.
Giliran Leonardo untuk tampilpun tiba, dan
sekejap penonton bertepuk tangan ria menyambut kedatangan seorang pianis yang
terkenal itu. Sesaat sebelum ia keluar dari ruang tunggu, ia berbisik padaku
dalam senyum liciknya;
“Jangan coba-coba menghalangiku, kau akan
tahu akibatnya nanti!”
Kembali tubuhku bergetar dibuatnya. Apa
maksud kata-katanya? Apakah benar-benar ia dalang dari semua ini? Berharap
semua teka-teki ini terpecahkan segera.
***
“Kau ingat kejadian beberapa tahun lalu
saat sekelompok orang mendatangi rumahmu dan membunuh ibumu? Itu semua adalah
ulah dari keluarga Leonardo yang tak suka atas keberhasilan ayahmu saat itu
sebagai musisi”
“Lalu apa alasan mereka menyerbu rumah
kami? Kenapa mereka membunuh mama?” tanyaku semakin penasaran dengan cerita
Dokter Edward.
“Kenapa? Ketika kamu masih berada di
kandungan ibumu, aku mendapatkan hidayah untuk memeluk agama islam. Lalu
setahun kemudian ayah dan ibumupun menyusulku untuk memeluk agama Islam. Asal
kamu tahu saja, saat itu dunia musik sedang dikuasai oleh agen-agen Yahudi
seperti keluarga Leonardo itu. Mereka tidak suka dengan ayahmu, karena dengan
masuknya ayahmu ke dalam agama islam, itu berarti kekuasaan musik berada di tangan
orang Islam.”
“Terlebih, biola yang ada di tanganmu saat
itu adalah biola yang dibuat khusus oleh musisi legendaris abad pertengahan
Wolfgang Amadeus. Keluarga Leonardo mengirim orang-orang mereka ke rumah kalian
dengan tujuan membunuh ayahmu sekaligus merebut biola legendaris itu. Namun
usaha mereka gagal total karena kalian mampu melarikan diri dari mereka.”
“Dan saat mereka melihat penampilanmu saat
babak kualifikasi kemarin, mereka sadar dari permainan biolamu bahwa kamu
adalah Putra dari David Stuart sang legenda dunia musik saat itu. Bahkan tanpa
sepengetahuan dirimu, saat ini mereka sedang mengintai keberadaan dirimu.”
“Tapi kamu tenang saja Steve, karena saat
ini aku telah menghubungi polisi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan
pada dirimu. Yang penting lakukanlah yang terbaik. Buktikan bahwa keberadaan
keluarga Stuart yang legendaris itu masih ada, dan akan kembali menguasai dunia
musik”
Akupun hanya bisa mengangguk pasti mendengar
penjelasan dari Dokter Edward. Hatikupun mulai tegar dengan kenyataan yang ada,
tentang masa laluku yang kelam itu. Namun itu bukanlah masalah yang berarti
bagiku, karena saat ini aku akan membuktikan pada dunia, bahwa aku Steven
adalah Putra dari sang musisi legendaris David Stuart yang akan kembali
menguasai dunia musik saat ini.
Tiba-tiba riuh gemuruh yang luar biasa dari
penonton terdengar menusuk telingaku. Penampilan yang luar biasa dari Leonardo
dengan Brahms Megamixnya telah menghipnotis penonton yang ada untuk bertepuk
tangan menyambutnya. Namun hatiku tak gentar sedikitpun mendengarnya, justru
yang ada dalam benakku hanyalah bagaimana cara menaklukkan hati penonton agar
terbawa dalam simponi biolaku.
“Okeyh, peserta Grandfinal berikutnya,
dialah yang kita tunggu-tunggu, Putra dari Sang Musisi legendaris sepanjang
masa, yang sempat menghilang beberapa tahun lamanya, namun saat ini kembali
hadir di tengah-tengah kita. Dialah Steven Stuart Putra dari Musisi Legendaris
David Stuart….!!”
Sejenak penonton terdiam dalam kebingungan.
Benarkah yang dikatakan oleh sang pembawa acara bahwa yang akan tampil di
hadapan mereka saat ini benar-benar putra dari sang Musisi Legendaris David
Stuart? Namun tiba-tiba kesunyian itu berubah menjadi sambutan yang tak kalah
meriahnya dari sambutan saat Leonardo menyelesaikan instrument pianonya. Akupun
juga bingung, bagaimana mungkin pembawa acara bisa tahu bahwa aku adalah Putra
dari David Stuart?
Saat aku melirik ke Dokter Edward, ia hanya
tersenyum simpul menandakan bahwa ini semua adalah ulahnya. Akupun semakin
bersemangat untuk mempersembakan simponi yang sejak kecil telah kunikmati
bersama mamaku tercinta. Sejenak air mataku menetes mengingatnya. Namun air
mata itu adalah simbol semangat dan keberanian mama dalam melindungi
orang-orang yang dicintainya. Akupun akan berusaha sekuat mungkin untuk menjadi
pria yang setangguh mama, yang telah mengorbankan nyawanya untukku. Teguh
langkahku kutapaki hingga ke panggung yang akan menjadi saksi dunia saat itu.
***
*Background Sound: Canon Megamix
Bagiku, musik adalah suara hati yang tak
tertahankan. Bagaimanapun kau melantunkannya, maka ia akan membawamu terbang
melayang ke angkasa tinggi. Iapun merupakan bahasa hati untuk menenangkan
hati-hati yang bergemuruh. Musik bukanlah tentang bagaimana engkau
memainkannya, namun bagaimana hatimu meresapinya. Karena musik bukan hanya
untuk mereka yang normal jiwa raganya, namun juga mereka yang memiliki
kekurangan dimana-mana.
Selesai aku melantunkan simponi terindah
dari hatiku, terdengar riuh penonton membahana seisi panggung. Bahkan bukan
hanya itu, tidak puas hanya dengan tepuk tangan dan teriakan, satu persatu
penonton mulai berdiri demi mengapresiasi karya seniku itu.
Dari jauh terlihat papa yang sedang berlari
menyongsong diriku. Ingin rasanya segera kumemeluknya, membiaskan rasa bahagia
yang tak terkira ini kepada orang yang kucinta. Tapi apa yang terjadi dengan
mata papa? Apakah ini yang disembunyikan Dokter Edward dariku? Bahwa mata yang
terpasang padaku saat ini adalah mata yang diberikan papa kepadaku?
Namun tiba-tiba listrik padam, dan
kegelapan mulai menyelimuti seisi ruangan panggung. Dari tengah-tengah penonton
aku melihat sebuah cahaya mengkilat persis seperti cahaya api yang keluar dari
sebuah pistol. Dan benar saja…
“Dor”
Sebuah peluru melesat menuju diriku. Namun
tiba-tiba aku merasakan sebuah tubrukan yang sangat keras menghantam tubuhku.
Akupun terjatuh tertindih sesuatu yang menabrak diriku itu. Kurasakan darah
segar mengalir dari punggung tubuh kekar yang menghantamku itu. Hatikupun mulai
merasakan hal yang tidak enak, seakan sesuatu yang buruk melanda diriku. Dan
benar saja….
“Papa…..!!!”
The End
Rahmat Beyazi Darmawan
Penulis lahir di Jakarta, 25 November 1992,
dan saat ini saat ini sedang melanjutkan pendidikannya di Ankara, Turkey.
Semoga apa yang disajikan penulis bermanfaat bagi teman-teman sekalian. Bila
anda puas dengan cerpen ini, alangkah baiknya bila di share ke teman-teman
lainnya. Namun bila ada kesalahan dimana-mana, ditunggu kritik dan sarannya.
^,^
*yang mau dengerin instrumentnya
Canon :
http://www.youtube.com/watch?v=O4rSKndmv98</a>
Brahms :
http://www.youtube.com/watch?v=Z0EAxQdYlgY</a>
Visit Me in :www.whitekingdoms.blogspot.com
“Dor dor dor dor”
Terdengar suara gedoran pintu dengan begitu
kencangnya. Tak lama kemudian terdengar suara yang begitu keras bertanda pintu
rumah kami telah berhasil dijebol mereka. Aku yang masih lugu, hanya bisa
menangis tak tahu apa yang terjadi. Tetesan air mata mamapun membahasi rambut
lurusku yang berwarna agak pirang itu. Terlihat raut tanda ketakutan di wajah mama,
namun jiwa pemberaninya untuk melindungi anaknya tercinta menepis semua itu.
Papa hanya mondar mandir mencari tali agar
kami bisa meloloskan diri dari kamarku yang berada di lantai 2 itu. Begitu
jelas bahwa papa yang akan selalu melindungi keluarga yang ia cintai itu begitu
panik, tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan. Suara langkah tergesa-gesa
semakin mengiang di kepalaku, lambat laun suara yang awalnya sayu itu menjadi
begitu jelas layaknya tabuh yang dibunyikan dalam upacara perang.
“Mama, aku takut….”
Rintihku dalam hangatnya dekapan mama.
Terdengar jelas detak jantung mama yang menderu lantaran rasa takutnya yang
sudah sampai ke ubun-ubun. Hanya isak tangis yang terdengar, tertunduk pasrah
menerima maut yang siap menjemput. Tak lama, papapun menemukan sprai lamaku
yang tersimpan utuh di lemari penyimpanan. Diikatnya menjadi sebuah tali yang
panjang hingga mencapai ke halaman rumahku.
“Ayo cepat, pertama-tama mama dan Steven
dulu yang turun. Papa akan berjaga disini.”
Tegas papa dengan penuh sikap kepahlawannya.
Itulah yang kubanggakan dari papa yang selalu berkorban demi keluarganya. Namun
timbul keraguan di wajah mama, ia tak rela meninggalkan lelaki yang ia cintai
sendirian. Cinta yang telah mereka pupuk dalam ikatan Ilahi, yang akan mati
tanpa datangnya hujan kasih sayang yang dinanti. Terlebih, mata hati yang
selama ini dinanti, membuatnya kuat untuk mengorbankan jiwa dan raganya demi
mereka yang ia cintai.
“Tidak pa… biarkan mama yang menunggu
disini. Papa dan steven saja yang duluan turun. Tolong percaya sama mama, aku
mencintai kalian karena-Nya.”
Pinta mama berbarengan dengan jatuhnya air
mata kami atas pengorbanannya. Mama, sekali lagi ia korbankan hidup dan matinya
untukku, yang ia cintai. Dahulu, demi datangnya aku ke dunia yang fana ini, dan
saat ini hanya agar aku bisa tetap hidup dan meraih apa yang aku cita-citakan
bersamanya.
Dengan berat hati, aku dan papa langsung
mempersiapkan diri. Sebuah kotak terbungkus kain yang seukuran badanku ditempatkan
di bahu kirinya. Lalu didekapnya aku dengan eratnya sambil mengucapkan kata
perpisahan dengan mama. Mamapun tersenyum manis padaku, semanis senyumnya saat
aku pertama kali datang ke dunia ini. Namun mungkin senyum ini adalah senyum
terakhir yang terbias dalam wajahnya.
Tak lama saat kami sedang mencoba untuk
turun, terdengar suara dobrakan pintu yang begitu kuat lalu diikuti dengan
suara tembakan pistol yang berbarengan dengan suara jeritan mama.
“Mama…!!”
Hanya kata-kata itu yang terus terucap dari
mulutku. Namun sesaat sebelum kami sampai ke tanah di halaman rumahku itu,
sebuah tembakan mengenai kaca jendela rumahku dan naasnya pecahan kaca itu
menghujani diriku yang sedang menengadah ke langit sambil memanggil-manggil nama
mama. Darah segarpun mengalir dari kedua mataku yang berwarna biru itu.
Rasa sakit tak tertahankan mendera diriku,
dan perlahan redup cahaya rembulan
memudar, dan hilang dalam bayangku. Hanya gelap yang kurasa, dan akupun
terlelap dalam dekapan hangatnya rembulan.
***
Prak….
Air mataku mengalir deras saat sebuah
tamparan mendarat di pipiku. Tidak keras memang, namun air mata itu jatuh bukan
karena sakit yang ditimbulkan oleh tamparan itu, namun karena sakit yang
menembus hingga ke lubuk hatiku. Papa yang selama ini selalu merawatku dengan
penuh kasih sayang, untuk pertama kalinya ia tega untuk menamparku. Apakah aku
yang kelewatan dan tak tahu diri? Ah tidak, papa saja yang selalu berusaha
untuk menghalang-halangi mimpiku.
Aku mencintai biola sebagaimana aku
mencintai mama. Semenjak kecil, mamalah yang selalu memainkan biola untukku.
Bahkan aku sudah hafal benar irama dan interval nada yang mama gunakan saat bermain
biola. Itu semua sudah meresap dalam sanubariku, sesuatu yang takkan terpisah
dalam hidupku.
“Apa kamu ingin durhaka dengan papamu
hah!membantah kata-kata papamu!?”
Bentak papa memecah keheningan langit. Aku
sama sekali tidak berniat untuk membantah papa. Aku hanya ingin menggenggam
cita-citaku yang telah kujanjikan pada mama di hari sebelum insiden itu
terjadi. Aku sadar akan kekuranganku, mungkin terlihat konyol baginya, tapi
tidak bagiku. Keterbatasanku ini bukanlah penghalang bagiku untuk meraih cita-citaku.
Dan aku akan terus berdiri tegak dalam pendirianku ini, tak akan goyah walau
ombak menghadangku. Namun tiba-tiba teriakan papa memecah lamunanku.
“Masih mencoba melawan ya kamu? Pasti ini
yang membuat kamu menjadi anak yang durhaka dengan papamu”
Kemarahan papa semakin menjadi-jadi. Biola
yang ada di tanganku pun diambilnya dan dibanting dengan sekeras-kerasnya
hingga ada bagian-bagian yang rusak. Akupun berlutut lemas meraba-raba untuk
mencari biola yang merupakan hadiah terakhir dari mama kepadaku dan merupakan
simbol janjiku kepada mama.
“Papa Jahat, tidak seperti mama!”
Akupun berlari ke sebuah ruangan kecil yang
bisa disebut kamar untuk rumah kami yang hanya berbentuk 3 petak dalam kawasan
kumuh itu. 1 petak untuk dapur dan kamar mandi, 1 petak untuk tempat tidur dan
lemari, dan 1 petak lainnya untuk ruang tamu sekaligus ruang kerja papa yang
sehariannya menjadi tukang jahit. Kupeluk erat-erat biola kesayanganku itu,
lalu ku tertidur dalam derai air mataku.
***
Dalam hembusan angin malam, hanya
serpihan-serpihan asa yang melayang mengikuti arah angin berlalu. Cahaya redup
rembulan hanya mampu memberikan pelita bagi mereka yang merindukan cahayanya.
Kubenamkan dalam-dalam kepalaku pada
sajadah lusuhku. Doa dan muhasabah senantiasa menghiasi sujudku. Memeluk islam
dalam Negara liberal seperti Perancis ini memang merupakan hal yang tidak
mudah. Cacian dan hinaan senantiasa mampir di telingaku setiap harinya.
Khususnya untuk diriku yang cacat ini.
Namun agama dan keterbatasan ini bukanlah
sebuah penghalang bagiku untuk meraih cita-citaku ini. Mataku memang tak bisa
melihat indahnya pelangi, namun cukup bagiku untuk menikmati indahnya sanubari.
Aku memang tak bisa melihat kecantikan menara eifel yang ketenarannya merambah
ke penjuru bumi, namun kecantikan hati adalah kecantikan hakiki yang
keindahannya abadi hingga ke akhirat nanti. Aku memang tak bisa melangkah pada
satu arah yang pasti, namun derap langkahku cukup tuk menghantarkanku menuju
mimpi-mimpiku.
Terdengar suara batuk papaku, memecah
kebisingan malam. Namun tak kuhiraukan, toh aku sedang ngambek dengannya. Doa
dan munajat terus kupanjatkan agar ia bersemi layaknya mekarnya bunga tulip di
musim semi ini.
***
2 hari sudah aku menjalani kegiatanku tanpa
bicara sedikitpun dengan papa. Namun entah mengapa pagi itu hatiku begitu
tenang dan bahagia. Seusai memanjatkan doa di sholat tahajjudku, tiba-tiba papa
mengajakku untuk melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Seusai sholat,
“Maafkan papa ya atas tindakan papa 2 hari
yang lalu. Ini uang 50 euro untuk biaya pendaftaran lomba instrument di musim
panas ini”
Tegur papa sambil memberikan kepadaku uang
pendaftaran lomba yang selama ini aku damba-dambakan. Langsung kuhamburkan
tubuhku dipelukan papa yang begitu aku cintai. Ternyata ia terenyuh dengan
munajat di malam-malamku saat itu. Dan ternyata alasan mengapa papa jarang
terlihat di rumah, karena ia melakukan kerja sambilan yang jumlah gajinya itu
ia berikan kepadaku untuk biaya lomba instrument. Akupun mengucapkan
terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepadanya.
“Eits, tapi ada satu syarat”
Serga papa mengagetkanku di sela-sela
kebahagiaanku. Ada apa lagi ini papa, pake syarat-syarat segala.
“Kamu haru menang. Janji?”
“JANJI”
***
Suara riuh penonton menggelegar membuat
bulu kudukku berdiri. Bagaimana tidak, ternyata festival ini bukanlah festival
sembarangan dan kecil-kecilan. Begitu banyak para musikal terkenal hadir
meriahkan festival ini. Dari 43 peserta, akulah peserta terakhir yang akan
tampil, karena sempat terjadi perang urat syaraf antara papa dengan panitia
pelaksana lantaran diriku yang cacat ini. Namun dengan usaha papa, akhirnya
panitia mengizinkan aku untuk tampil di urutan ke-43. Akupun hanya bisa terdiam
menikmati alunan musik yang dibawakan oleh Leonardo, seorang pianis terkenal di
Paris yang menempati urutan 42.
*background music “Brahm megamix”
Tepuk tangan bercampur haru bergelora
seantero stadium. Ribuan penonton yang datang ke festival inipun tak mau kalah
riuhnya demi mengapresiasikan karya seni yang baru saja dibawakan oleh
Leonardo. Bagaimana tidak, Leonardo adalah seorang pianis yang namanya sudah
terkenal hingga ke mancanegara. Bahkan, alasan kenapa Leonardo menempati urutan
“hampir” terakhir itu adalah ulah panitia yang ingin mempersembahkan bintang
tamu yang tak kalah populernya dengan bintang sepak bola.
Aku yang mendengarkan lantunan musik itu,
terkagum kagum dalam hati. Bukan hanya itu, tiba-tiba kakiku bergetar lantaran
minder dengan apa yang ada pada diriku. Bagaimana mungkin aku bisa menandingi
dia yang sudah professional itu. Tiba-tiba papa menepuk pundakku dalam
senyumnnya seraya berkata :
“Kamu lebih baik dari dia, gunakan potensi
yang ada pada dirimu. Jangan kecewakan papa dan mama”
Mendengar papa membahas nama mama, tak
terasa air mataku mengalir. Bagaimana tidak, simponi yang akan aku bawakan saat
ini adalah instrument Canon yang secara spesial diaransment oleh papa dan mama
di hari kelahiranku. Dan instrument ini adalah instrument yang selalu mama
mainkan untukku di kala aku kecil. Di saat aku ingin tidur, ketika bangun
tidur, ketika aku menangis, dan kapanpun ada mama, pasti ia selalu membuatku
tersenyum dengan instrument itu. Instrument yang sudah masuk ke darah dagingku,
sehingga walaupun aku tak bisa melihat, namun aku masih mampu memainkannya
lebih baik dari yang mama mainkan untukku.
“Peserta selanjutnya, seorang newbie yang
mencoba mempersembahkan sebuah instrument biola dalam kecacatan, kita sambut
“Si buta” Steven….”
Sekejap stadium menjadi sepi, hanya riuh
angin malam yang membisik kalbuku. Penontonpun hanya bisa diam seribu bahasa
saat mendengar julukan diriku. “Si Buta”. Ya, itulah julukan yang diberikan
oleh pembawa acara untukku. Hatiku teriris bukan main. Teganya dia
mendiskriminasikan diriku.
“Aku memang buta, namun hatiku tidak buta.
Aku bisa memainkan musik lebih baik dari Leonardo si pengecut itu. Lihat saja
akan kubuktikan kemampuanku. Akan kubuat kalian tercengang mendengarkan alunan
biola yang kumainkan…”
Gerutuku dalam hati. Namun melihat ekspresi
wajahku yang mulai berubah, papa mendekatiku dan mengusap-usap rambutku.
“Tenang Steven. Musik itu adalah biasan
perasaan hati untuk menenangkan hati-hati yang keruh. Bila hatimu saja sudah
keruh, bagaimana mungkin kamu bisa menenangkan hati mereka?”
Akupun sadar dengan kesalahanku. Aku
kembali teringat satu hal. Ya, orang yang paling aku cintai, akan
kupersembahkan alunan musik ini, untuk mama yang tenang di surga sana…
***
“Apa…?Kenapa tiba-tiba aku
didiskualifikasi?Ini sungguh tidak adil…!!
Hardik aku kepada panitia yang akan
mendiskualifikasikan aku lantaran kecacatan yang ada pada diriku. Sungguh, aku
tidak menerima ketidakadilan ini. Bukankah diperaturan lomba tidak ada syarat
terbebas dari kecacatan? Bukankah aku sudah berhasil melaju ke babak grandfinal
menyusul si Leonardo sialan itu?
Dimana letak keadilan?Apakah selamanya
orang yang cacat akan diperlakukan tidak adil seperti ini? Aku juga manusia,
punya hati dan perasaan. Jangan seenaknya saja memperlakukan aku seperti ini.
Apa mereka tidak berfikir seandainya saja mereka berada pada posisiku saat ini?
Relakah mereka aku perlakukan seperti ini?
“Maaf, ini sudah keputusan panitia, tidak
bisa diganggu gugat. Kecuali kalau memang saatnya tiba, anda bisa datang dalam
keadaan tidak cacat. Hahaha…”
Keterlaluan mereka. Menjadikan aku sebagai
olok-olokan. Memangnya siapa mereka? Hanya sekedar panitia yang
menyelenggarakan lomba ini. Akupun merasa ada yang tidak beres disini. Namun
ketidakberdayaanku menepis semua kemungkinan yang terjadi. Aku hanya bisa
pasrah dan pulang dengan tangan hampa. Hanya berharap sebuah keajaiban dari
Allah datang kepadaku merubah nestapa hidupku ini.
***
Satu minggu berlalu semenjak babak
kualifikasi itu, hanya tersisa 3 hari menuju babak grandfinal. Hari-hariku
hanya dipenuhi oleh tangis dalam sujud-sujudku, bukan semata-mata karena
kekurangan dalam diriku, namun karena aku merasa tak mampu bahagiakan papaku.
Aku bersyukur walau aku hidup dalam serbakekurangan ini, karena aku masih
memiliki papa yang begitu menyayangiku.
Kenangan tentang tragedi beberapa tahun
lalu kembali menghantuiku. Rasa rindupun menyeruak menghiasi kalbuku. Mama…
mengapa begitu cepatnya kau tinggalkan diriku. Andai saat ini engkau di sisiku,
maka cukuplah bagiku dirimu.
Lalu sebuah tanda Tanya besar datang ke
pikiranku. Siapa orang-orang yang datang ke rumah kami saat itu? Lalu apa
sebenarnya tujuan mereka? Mengapa mereka tega-teganya membunuh mama? Saat semua
Tanya itu begitu hebatnya mengguncang jiwaku, papa mengagetkanku dengan
senyumannya yang khas.
“Kita ke dokter yuk buat sembuhkan mata
kamu. Papa punya kenalan dokter yang bisa menyembuhkan penyakit kamu”
Ke dokter? Dokter mana, bukankah kita tidak
punya cukup uang untuk pergi ke dokter? Sembuhkan mataku? Memangnya bisa?
Akupun terdiam dalam rasa penasaran yang menggebu. Kenapa tiba-tiba papa
mengajakku untuk ini semua?
“Gak mau nih? Katanya mau bahagiain papa
dengan memenangkan lomba ini?”
Dengan seribu Tanya yang bersarang di
benakku ini, akupun mengiyakan permintaan papa. Berharap ini semua adalah
keajaiban yang diberikan oleh Allah untukku.
***
“Dimana aku?”
Teriakku saat melihat sebuah ruangan yang
penuh dengan warna putih. Apakah aku sudah mati? Ataukah ini hanyalah mimpi?
Kucoba menampar pipiku, awh sakit. Ada yang aneh dengan diriku. Ah iya, ruangan
putih dengan pakaian serba putih? Ya, aku bisa melihat semua warna itu, aku
bisa melihat kembali. Kucoba melayangkan pandanganku ke sebuah pintu yang mulai
terbuka, dan tampaklah sesosok yang juga menggunakan pakaian serba putih.
Apakah dia malaikat? Kucoba terawang
wajahnya, bukankah ia adalah Dokter Edward sahabat dekat papa yang dulu sering
datang main ke rumah kami saat mama masih hidup?
“Dokter Edward?”
“Ya, kamu masih ingat saya Steven? Ternyata
kamu sudah besar dan tampan seperti ayahmu saat masih muda dulu”
“Papa dimana Dok..?”
“Papa lagi ada urusan katanya. Kamu sudah
sembuh kan? Ayo kita langsung bergegas ke perlombaan, jangan sampai telat.
Tenang saja papa nanti datang menonton kok katanya.”
Akupun segera mengganti pakaianku dan bersiap
untuk datang ke perlombaan. Masalah administrasi perlombaanpun sudah diurus
oleh Dokter Edward. Sepanjang perjalanan terus bertanya perihal papa, dimana ia
sekarang, apakah ia baik-baik saja? Lalu bagaimana aku bisa melihat seperti
ini? Namun Dokter Edward hanya menjawab dengan senyumnya, bahwa ini semua
adalah anugerah dari Allah yang maha kuasa. Karena sebuah kantuk yang tak
tertahankan, akhirnya akupun tertidur di dalam mobil.
***
“Eh si buta ternyata masih berani datang
kesini?”
Ejek Leonardo membuatku kesal. Bagaimana
tidak, senyuman liciknya itu benar-benar membuatku muak dengannya. Akupun
merasa bahwa apa yang terjadi padaku ini semuanya adalah ulah dari Leonardo
yang takut kalah saing denganku. Ia ingin menyingkirkanku dengan alasan diriku
yang cacat ini. Tak tahan dengan kelakuannya, akupun hampir saja memukulnya
bila tidak dipisahkan oleh Dokter Edward.
“Jangan mencari masalah, hati-hati
dengannya”
Bisik Dokter Edward padaku. Akupun semakin
penasaran dengan maksud dari Dokter Edward. Namun untuk mencari amannya, aku
akan bersabar hingga Dokter Edward menceritakan semuanya kepadaku.
Giliran Leonardo untuk tampilpun tiba, dan
sekejap penonton bertepuk tangan ria menyambut kedatangan seorang pianis yang
terkenal itu. Sesaat sebelum ia keluar dari ruang tunggu, ia berbisik padaku
dalam senyum liciknya;
“Jangan coba-coba menghalangiku, kau akan
tahu akibatnya nanti!”
Kembali tubuhku bergetar dibuatnya. Apa
maksud kata-katanya? Apakah benar-benar ia dalang dari semua ini? Berharap
semua teka-teki ini terpecahkan segera.
***
“Kau ingat kejadian beberapa tahun lalu
saat sekelompok orang mendatangi rumahmu dan membunuh ibumu? Itu semua adalah
ulah dari keluarga Leonardo yang tak suka atas keberhasilan ayahmu saat itu
sebagai musisi”
“Lalu apa alasan mereka menyerbu rumah
kami? Kenapa mereka membunuh mama?” tanyaku semakin penasaran dengan cerita
Dokter Edward.
“Kenapa? Ketika kamu masih berada di
kandungan ibumu, aku mendapatkan hidayah untuk memeluk agama islam. Lalu
setahun kemudian ayah dan ibumupun menyusulku untuk memeluk agama Islam. Asal
kamu tahu saja, saat itu dunia musik sedang dikuasai oleh agen-agen Yahudi
seperti keluarga Leonardo itu. Mereka tidak suka dengan ayahmu, karena dengan
masuknya ayahmu ke dalam agama islam, itu berarti kekuasaan musik berada di tangan
orang Islam.”
“Terlebih, biola yang ada di tanganmu saat
itu adalah biola yang dibuat khusus oleh musisi legendaris abad pertengahan
Wolfgang Amadeus. Keluarga Leonardo mengirim orang-orang mereka ke rumah kalian
dengan tujuan membunuh ayahmu sekaligus merebut biola legendaris itu. Namun
usaha mereka gagal total karena kalian mampu melarikan diri dari mereka.”
“Dan saat mereka melihat penampilanmu saat
babak kualifikasi kemarin, mereka sadar dari permainan biolamu bahwa kamu
adalah Putra dari David Stuart sang legenda dunia musik saat itu. Bahkan tanpa
sepengetahuan dirimu, saat ini mereka sedang mengintai keberadaan dirimu.”
“Tapi kamu tenang saja Steve, karena saat
ini aku telah menghubungi polisi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan
pada dirimu. Yang penting lakukanlah yang terbaik. Buktikan bahwa keberadaan
keluarga Stuart yang legendaris itu masih ada, dan akan kembali menguasai dunia
musik”
Akupun hanya bisa mengangguk pasti mendengar
penjelasan dari Dokter Edward. Hatikupun mulai tegar dengan kenyataan yang ada,
tentang masa laluku yang kelam itu. Namun itu bukanlah masalah yang berarti
bagiku, karena saat ini aku akan membuktikan pada dunia, bahwa aku Steven
adalah Putra dari sang musisi legendaris David Stuart yang akan kembali
menguasai dunia musik saat ini.
Tiba-tiba riuh gemuruh yang luar biasa dari
penonton terdengar menusuk telingaku. Penampilan yang luar biasa dari Leonardo
dengan Brahms Megamixnya telah menghipnotis penonton yang ada untuk bertepuk
tangan menyambutnya. Namun hatiku tak gentar sedikitpun mendengarnya, justru
yang ada dalam benakku hanyalah bagaimana cara menaklukkan hati penonton agar
terbawa dalam simponi biolaku.
“Okeyh, peserta Grandfinal berikutnya,
dialah yang kita tunggu-tunggu, Putra dari Sang Musisi legendaris sepanjang
masa, yang sempat menghilang beberapa tahun lamanya, namun saat ini kembali
hadir di tengah-tengah kita. Dialah Steven Stuart Putra dari Musisi Legendaris
David Stuart….!!”
Sejenak penonton terdiam dalam kebingungan.
Benarkah yang dikatakan oleh sang pembawa acara bahwa yang akan tampil di
hadapan mereka saat ini benar-benar putra dari sang Musisi Legendaris David
Stuart? Namun tiba-tiba kesunyian itu berubah menjadi sambutan yang tak kalah
meriahnya dari sambutan saat Leonardo menyelesaikan instrument pianonya. Akupun
juga bingung, bagaimana mungkin pembawa acara bisa tahu bahwa aku adalah Putra
dari David Stuart?
Saat aku melirik ke Dokter Edward, ia hanya
tersenyum simpul menandakan bahwa ini semua adalah ulahnya. Akupun semakin
bersemangat untuk mempersembakan simponi yang sejak kecil telah kunikmati
bersama mamaku tercinta. Sejenak air mataku menetes mengingatnya. Namun air
mata itu adalah simbol semangat dan keberanian mama dalam melindungi
orang-orang yang dicintainya. Akupun akan berusaha sekuat mungkin untuk menjadi
pria yang setangguh mama, yang telah mengorbankan nyawanya untukku. Teguh
langkahku kutapaki hingga ke panggung yang akan menjadi saksi dunia saat itu.
***
*Background Sound: Canon Megamix
Bagiku, musik adalah suara hati yang tak
tertahankan. Bagaimanapun kau melantunkannya, maka ia akan membawamu terbang
melayang ke angkasa tinggi. Iapun merupakan bahasa hati untuk menenangkan
hati-hati yang bergemuruh. Musik bukanlah tentang bagaimana engkau
memainkannya, namun bagaimana hatimu meresapinya. Karena musik bukan hanya
untuk mereka yang normal jiwa raganya, namun juga mereka yang memiliki
kekurangan dimana-mana.
Selesai aku melantunkan simponi terindah
dari hatiku, terdengar riuh penonton membahana seisi panggung. Bahkan bukan
hanya itu, tidak puas hanya dengan tepuk tangan dan teriakan, satu persatu
penonton mulai berdiri demi mengapresiasi karya seniku itu.
Dari jauh terlihat papa yang sedang berlari
menyongsong diriku. Ingin rasanya segera kumemeluknya, membiaskan rasa bahagia
yang tak terkira ini kepada orang yang kucinta. Tapi apa yang terjadi dengan
mata papa? Apakah ini yang disembunyikan Dokter Edward dariku? Bahwa mata yang
terpasang padaku saat ini adalah mata yang diberikan papa kepadaku?
Namun tiba-tiba listrik padam, dan
kegelapan mulai menyelimuti seisi ruangan panggung. Dari tengah-tengah penonton
aku melihat sebuah cahaya mengkilat persis seperti cahaya api yang keluar dari
sebuah pistol. Dan benar saja…
“Dor”
Sebuah peluru melesat menuju diriku. Namun
tiba-tiba aku merasakan sebuah tubrukan yang sangat keras menghantam tubuhku.
Akupun terjatuh tertindih sesuatu yang menabrak diriku itu. Kurasakan darah
segar mengalir dari punggung tubuh kekar yang menghantamku itu. Hatikupun mulai
merasakan hal yang tidak enak, seakan sesuatu yang buruk melanda diriku. Dan
benar saja….
“Papa…..!!!”
The End
Rahmat Beyazi Darmawan
Penulis lahir di Jakarta, 25 November 1992,
dan saat ini saat ini sedang melanjutkan pendidikannya di Ankara, Turkey.
Semoga apa yang disajikan penulis bermanfaat bagi teman-teman sekalian. Bila
anda puas dengan cerpen ini, alangkah baiknya bila di share ke teman-teman
lainnya. Namun bila ada kesalahan dimana-mana, ditunggu kritik dan sarannya.
^,^
*yang mau dengerin instrumentnya
Canon :
http://www.youtube.com/watch?v=O4rSKndmv98</a>
Brahms :
http://www.youtube.com/watch?v=Z0EAxQdYlgY</a>
Visit Me in :www.whitekingdoms.blogspot.com
wah...keren cerpennya... ditunggu karya-karya lainnya ya...
ReplyDelete