Prang...!!
Suara besi-besi yang terjatuh
lantaran tertubruk diriku yang terpental kencang akibat pukulan Ardi yang
sedang marah besar padaku. Belum pernah kulihat wajahnya yang begitu kecewa
padaku, sahabat terdekatnya, bahkan lebih dekat dari saudara sekalipun. Sakit,
sakit sekali rasanya. Namun bukan lantaran pukulan rian yang bersarang di
tubuhku yang kekar ini, namun hati ini begitu sakit, menyesali akan kebodohan
dalam keterbatasan diriku ini. Tak bisa kumemilih satu dari dua keputusan yang
pahit, rasanya seperti memakan buah simalakama dalam pahitnya masa.
“lo itu egois banget yan. Lo mau
mengorbankan persahabatan kita dengan hal sepele ini? Dan bahkan lo
mengorbankan kejuaraan ini demi hal yang ga masuk akal ini?” gertak Ardi masih
dalam geram hatinya. Tak tega kumenatap wajah Ardi yang pastinya begitu kecewa
dengan keputusan bodohku ini. Aku sempat kesal dengan kata-kata terakhirnya,
bahwa ini semua ga masuk akal. Ya, memang, tidak mungkin masuk akal. Karena
memang logika dan hati itu bertolak belakang. Ada hal-hal yang tak bisa kau
mengerti dengan logika, namun saat kau bertanya pada hatimu niscaya ia akan
tunjukkan jalannya. Namun terkadang pula saat kau mencoba arungi luasnya
samudera hati, kau akan tenggelam bersama kelamnya malam. Oh tidak, apa yang
harus aku lakukan?
“Baiklah di, gue akan lakukan ini
semua untuk lo. Tapi maaf, gue ga bisa ikut pas pertandingan final nanti, lo
tau deh apa alasannya” balasku sekejap mengambil keputusan yang serba salah
ini. Ya sudahlah, toh keputusan ini sudah aku ambil, aku harus konsekuen dengan
apa yang aku janjikan, karena aku adalah laki-laki.
Seketika wajah Ardi tampak berseri,
merah wajahnya kini seakan tersiram mata air yang sejuk lagi menyejukkan.
Senyum khasnyapun kembali menghiasi wajah tampannya.
“Nah gitu dong, ini baru Rian
sahabat gue”
Jawab ardi sambil mengulurkan
tangannya kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum, walau entah kenapa seribu tanya
masih saja bersatu padu dalam benakku. Salahkah keputusanku, atau hanya
bayangku yang membuatku ragu. Ah entah apa bayang-bayang itu, yang membuatku
seakan tenggelam dalam dimensi sang waktu. Bodohkah aku dengan segala
kebimbangan hatiku? Dan apa bayang-bayang itu yang selalu menghampiriku
bagaikan hantu?
***
Apa kau tahu bagaimana tersiksanya
merindu? Menyimpan sebuah cinta suci dalam kotak kenangan yang abadi? Dimana
semakin kau dekati cahaya itu, justru ia akan redup bagai matahari yang meredup
di kala senja menghampiri. Namun bila kau jauhi cahaya itu, hatimu merasa
gundah dan gelisah, akankah cahaya itu akan selalu bertahta dalam sanubari
penuh cinta? Itulah yang kini kualami. Cinta dalam keterbatasan, hanya berhias
ketulusan dan doa dalam pengharapan. Karena ku tak ingin menodai cinta, agar ia
tetap suci hingga saatnya ku menghampiri. Ya, dalam ikatan suci dua insan yang
saling mencintai.
Fitri, dialah gadis penuh kejutan
yang hingga kini tak pernah luput dari penglihatan. Serasa penuh kesejukan di
kala menatap binar wajahnya, yang tersenyum manis di balik jilbab rapi yang
menutupi perhiasannya. Entah sudah berapa lama hati ini berlabuh tanpa jawab
dalam keluh. Walauh kutahu dari matanya yang tak pernah berbohong, bahwa
hatinyapun sedang ia labuhkan pada hatiku dalam pengharapan. Namun diamnya
adalah jawaban, bahwa diri ini perlu ketegaran, mempertahankan cinta suci tanpa
perlu kumenyentuhnya. Dan cemburunya adalah teguran, agar kubenahi diri menjadi
pribadi yang lebih mandiri, hidup dalam lingkungan yang syari.
Sesekali kumenatapnya, dan iapun
membalas tatapan mataku dengan senyum penuh keikhlasan. Entah apa yang ia
maksudkan, hanya hatinya yang bisa memberi jawaban. Namun tiba-tiba Intan,
manager tim basketku menghampiriku dan memecah lamunan panjangku. Bersamaan
dengan itu, raut wajah Fitri berubah dan dirinya enyah entah kemana.
“Ngelamun aja kamu kerjaannya. Ardi
lagi nyariin kamu tuh, katanya mau nyusun strategi buat turnamen besok” tegur
Intan dengan suaranya yang agak manja. Begitulah intan, parasnya yang cantik
pasti membuat siapa saja yang melihatnya tertarik padanya. Bahkan walaupun ia
berjilbab, ia tak kalah cantik dibanding mereka yang tidak berjilbab. Tapi
tetap saja bagiku intan ya intan, hanya sebatas teman sekaligus manager dari
klub basket kami.
Yang aku pikirkan kini bukanlah
Intan ataupun klub basket. Tapi perubahan sikap Fitri padaku setiap aku
didekati oleh wanita-wanita yang kagum padaku. Bagaimana tidak, seorang Rian
yang merupakan pemain basket legendaris di kampus kami, sekaligus dengan
tampangku yang cukup membuat para wanita terpesona saat melihat senyumku. Namun
itu semua tak ada artinya saat aku menatap Fitri, ia bagaikan bidadari dan
wanita-wanita itu hanyalah sekedar wanita tak berarti.” Ah sial, apa yang harus
aku lakukan agar Fitri tidak marah padaku.” Gerutuku dalam hati hingga tak
kusadari bahwa aku telah mengganggap kehadiran Intan tak berarti. Yang ada
dalam benakku hanyalah Fitri, dan memori indah saat semuanya terungkap dalam indahnya
mimpi.
***
4 tahun yang lalu
“Halo dek Rian. Lagi kerja kelompok
di rumahnya Intan ya? Fitri juga disana kan? Tolong nanti bisa antar Fitri ke
rumah kan? Soalnya Fitri lagi kurang enak badan, ibu takut dia kenapa-kenapa”
Pesan ibunya Fitri lewat telepon saat kami melakukan kerja kelompok di rumah
Intan. Akupun menjawabnya dengan begitu gugupnya layaknya seorang office boy
yang baru saja naik pangkat menjadi manager.
“hhmm...Iya bu, kalau memang ibu
minta seperti itu”
Entah apa yang hatiku rasakan, senang
bercampur malu. Aku memang sudah memndam rasa ini begitu lama kepada Fitri,
namun aku yang pemalu membuat semuanya tersimpan rapi dalam hati yang tak
diketahui. Fitripun sama, walau sinyal di hatiku menafsirkan bahwa ia merasakan
hal yang sama denganku. Terlebih rona wajah yang ia tampakkan saat ibunya
menitipkan dirinya kepadaku, mempercayakan penuh anaknya kepadaku. Ah, sudah 99
persen rasanya kebenaran ini. Hanya saja baik aku ataupun Fitri tak berani
mengungkapkan apa yang terjadi. Biarlah angin malam yang membisikkan harapan
dalam doa yang kuhaturkan dalam dekapan malam.
Terlebih malam kemarin telah
kuungkapkan perasaanku, meski tak sebatas kata, hanya untaian kata dalam
baris-baris pesan elektronik di hpku. Namun sayangnya tak sepatah katapun
meluncur lewat jari-jari halusnya. Lagi-lagi aku hanya bisa menunggu dalam
diam, entah cintaku dibalasnya, ataukah akan dicampakkannya.
“Yuk kita pulang” tegur Fitri membuyarkan
lamunanku. Entah ada magnet apa yang membuat mata kami terus bertatapan,
mengalirkan sinyal-sinyal cinta dari dua insan yang takkan berdusta. Melihat
rona merah Fitri yang menandakan ia sedang malu-malu mengatakan itu, akupun
semakin gugup dan gelagapan menjawab permintaannya itu.
“Ehh iya, yuk, nanti kemaleman”
Dengan jantung yang berdegup
kencangpun, dan untuk pertama kalinya aku membonceng Fitri di motor bututku
itu. Entah apa yang ia rasakan, namun dengan jarak tanpa sentuhan, aku merasa
denyut jantungnya bersatu dengan aliran darahku. Akupun merasakan kegugupan
dirinya. Mungkinkah karena smsku yang kukirim malam kemarin? Ah semakin
menjadi-jadi kegugupan ini, biarlah ia mengalir bersama dentaman waktu.
***
Tiba-tiba di depan sebuah taman
dekat rumahnya, dia memintaku untuk berhenti, dan menyuruhku untuk turun. Dan
dengan riangnya, tiba-tiba dia menarik jaket lengan panjangku ke sebuah ayunan
di tempat bermain itu. Akupun gugup bukan main, baru pertama kalinya ia
melakukan itu padaku, walaupun bukan tanganku yang ia pegang, melainkan jaketku.
Karena aku tahu, dia adalah seorang wanita yang begitu menjaga hijabnya. Dan
kamipun duduk berhadapan. Tampak begitu jelas wajah fitri yang putih bersih.
Tak ada sedikitpun kotoran yang merusak kecantikannya. Air wudhu yang jelas
senantiasa menemaninya, membuat wajahnya semakin bersinanr. Binar matanya, dan
bola matanya yang begitu anggun, semakin menyempurnakan keindahannya. Duhai makhluk
ciptaan Allah, seandainya aku bisa menikmati anugerah ilahi ini dalam ikatan
yang halal dan suci. Gumamku dalam hati. Namun tetap saja aku gugup tidak
karuan, begitu dekatnya diriku dengannya, menatapnya, dan desiran cintapun
kembali menghiasinya.
Tiba-tiba dengan dihiasi senyum
manisnya, ia mengeluarkan sepucuk surat dan memberikannya kepadaku, seraya
berkata kepadaku
“baca yah pake hati, tapi aku juga
mau dengar kamu baca”
Akupun mulai membukanya dengan hati
gemetar. Apa maksudnya fitri melakukan semua ini? Apa ia marah padaku? Ah
tidak, senyum yang terpancar di wajahnya tidak memberikan sinyal itu
sedikitpun. Segala tanyapun menyelusup ke pikiranku. Dan semua pertanyaan itu
terjawab sudah saaat kubacakan surat itu untuknya. Sebuah rahasia hati yang
suci, yang tak pernah terbesit di pikiranku. Bahkan langitpun tak tahu harta
karun yang tersimpan erat di dalamnya. Apa sebenarnya yang ada disana? Apakah
ini jawaban dari segala kegundahan yang muncul dari pesanku semalam? Bait demi
bait kuresapi, hanya penyesalan akan prasangka yang tak berarti kini
menyelimuti. Kini aku baru sadar, bahwa aku menjadi seorang yang paling beruntung
di dunia ini. Oh bidadari hatiku….
Berjalan kumenelusurinya, namun ia
enggan untuk menepi
Berlari ku mengejarnya, semakin
lihai ia menjauh
Kucoba sebrangi samuderanya yang
luas, namun ku tenggelam di hulu
Akupun lelah… tak ingin lagi
kumeraihnya
Namun
disaat cahayanya kian meredup
Dan
akupun terlelap dalam lelahku
Ia
datang bersama kilatan sayap-sayapnya
Menaungiku,
meemaniku dalam sunyi
Bukan ku enggan menerima pelitanya
Membawanya bersama, hingga ke altar
keabadian cinta
Namun, ku tak sanggup kehilangan
cahayanya
Dan tak ingin menyentuh kesucian
cinta
Biarlah
ia mengalir bersama dentaman waktu
Hingga
ia kan indah pada saatnya
Bila kau cintaku…
Tautkanlah cintamu pada sang
pencipta cinta
Ku kan setia menunggu hadirnya sang
kesatria
Menggenggam cintaku dalam suci
ikatannya
Bahagia hingga akhir masa
Selesai ku membacanya, dan melayang
bersama bait-baitnya, tiba-tiba fitri mengagetkanku, dan berkata
“Ngerti kan maksudnya? Aku merasakan
apa yang kamu rasakan koq. Tapi aku tidak sepandai kamu dalam masalah cinta.
Kamu cinta pertamaku dan aku ningin kamu juga yang terakhir. Makanya aku ga
bisa ngebayangin kalo harus kehilangan kamu. Dan aku mau sekarang kita seperti
biasa aja, layaknya adik dengan kakak, kita tetap jaga hijab kita. Aku nyaman
banget kok bisa seperti ini. Tenang aja, aku pasti setia menunggu kamu hingga
kamu siapkan segalanya. Kamu juga yah, pokoknya siapin semuanya, lalu datangi
aku… janji yah…?
Fitri menutup kata-katanya dengan
permintaan janji itu. Setetes demi setetes rinai air mata membasahi pipinya,
ingin rasanya ku menghapus air matanya dengan tanganku, namun ku tak rela menyentuh kesuciannya, dan
kuurungkan niatku itu. Oh… begitu tulusnya cintanya padaku. Ya Allah, aku tak
akan menyia-nyiakan karunia-Mu ini, anugerah terindah dalam hidupku.
“Ya… pasti. Aku janji… percaya
padaku…”
Semenjak saat itulah aku tahu isi
hatinya, dan iapun tahu apa yang aku rasakan. Namun demi menjaga kesucian
cinta, kami rela menahan rasa, entah rasa cinta yang semerbak harum menghiasi
hari, atau bahkan rasa cemburu yang tak mampu kami ungkapkan hanya dalam
untaian kata. Kami saling mencinta, namun hanya diamlah bahasa tuk ungkapkan
rasa. Kami saling cemburu, namun hanya nafas yang memburu yang mampu redakan
nafsu. Ah, sulit memang, namun inilah konsekuensi cinta. Biarlah cukup Allah
yang tahu isi kalbu, agar ia terus terjaga dalam kesucian cinta. Hingga suatu
masa, akupun bisa menjemputnya. Membawanya terbang bersama sayap-sayap cinta.
***
Bruk...
Aku terpental akibat tubrukan pemain
lawan yang entah semakin ganas seperti orang kesetanan. Permainanpun semakin
panas dengan skor yang bagaikan kuda yang berpacu, saling susul menyusul.
Bagaimana tidak, ini adalah pertandingan penentuan siapa yang berhak melaju ke
babak final. Namun aku tak mengerti dengan permainanku hari ini, seakan hanya
seoonggok mayat hidup yang berlari tanpa arti mengejar bola tak karuan. Hanya
tinggal beberapa detik hingga permainanpun akan selesai. Namun tetap saja tak
ada sedikitpun spirit yang mengalir dalam tubuhku ini. Lemah, kaku tanpa arti.
Ya, Fitri, masihkah ia marah padaku akibat cemburu yang kian memburu?
Oh Fitri, mengapa cemburumu kian
menyiksaku? Bukankah telah aku lakukan segalanya untukmu? Bahkan meninggalkan
klub basket yang sudah menjadi darah dagingku telah kulakukan hanya agar kau
tak cemburu? Lalu dimana dirimu wahai kekasihku? Kubutuh dirimu tuk penuhi
relung jiwaku... seandainya...
“Ada apa dengan lo yan? Kok
permainan lo buruk banget hari ini. Lagi marahan ya sama Fitri?” Tegur Ardi
sambil mengulurkan tangannya padaku. Ah sial, ternyata ardi telah menyadari ini
semua. Betapa malunya diriku akan lemahnya hati ini dibalik tubuh yang kekar
bagai api. Tiba-tiba ia mengisyaratkan ke suatu tempat yang riuh akan penonton.
Darahku terasa seakan berhenti mengalir, dan detak jantungku semakin tak karuan
membisik hatiku. Bukankah itu Fitri? Bagaimana bisa ia datang kesini? Bukankah
ia sedang ada mata kuliah dan terlebih ia sedang marah padaku? Iapun melambai
bersama senyum manis yang seakan mengisi bahan bakarku. Ya, cinta memang mampu
membuatku jatuh tersungkur, sekaligus membuat diri ini tegap berdiri walau
panah panah api senantiasa menghujami.
“Liat tuh bidadari hati lo. Gue
persembahankan buat lo. Haha. Makanya jangan loyo lagi, okeyh? Kita selesaikan
semua ini!”
Akupun menatap mata Ardi
dalam-dalam. Aku mengerti benar bahasa mata itu, bahasa yang hanya aku dan
sahabat sejatiku yang tahu. Kamipun berdiri tegap di tengah lapangan seraya
mengangkat tangan dengan mengisyaratkan angka dua dengan jari telunjuk dan jari
tengahku.
“DOUBLE DEATH”
Ya, itulah jurus rahasia pasangan
emas aku dan rian yang selalu menjadi bahan pembicaraan semua penggemar basket.
Bagaimana tidak, jurus ini tak pernah terpatahkan satu kalipun hingga membuat
klub basket kami selalu menjadi juara 3 tahun berturut-turut. Serentak semua
penonton bersorak sorai sambil meneriakkan hal yang sama.
“DOUBLE DEATH...DOUBLE
DEATH...DOUBLE DEATH...”
Sekejap lapangan semakin riuh dengan
sorak sorai penonton. Moral tim kami semakin menaik dan di lain sisi nyali
pemain lawanpun entah pergi kemana seakan hanya tersisa mayat-mayat hidup yang
berserakan di lapangan. Aksi pasangan emas aku dan ardipun akan segera dimulai.
Dengan tanganku yang sedikit
terluka, akupun hanya berdiam tepat di bawah ring basket kami. Cukup perih
terasa, namun itu semua hilang dengan sorak sorai penonton yang semakin
menggebu-gebu. Dengan sedikit permainan di sisi pertahanan kami, bolapun
akhirnya diberikan kepadaku yang tengah berdiam di area pertahanan. Karena rasa
takut yang berlebih, serentak semua pemain lawan menghampiriku. Dengan satu dua
gerakan, langsung kutembakkan lemparan jarak jauhku dari posisiku berada. Ah
sakit memang, namun ini semua demi sahabatku, aku takkan pernah menyia nyiakan
ketulusan darinya. Bolapun terlepas dari tanganku dan melepas jauh menuju ring
lawan, walaupun setelah tembakan itu tubrukan yang begitu keras menghantam
diriku.
Bolapun menari-nari di atas ring
basket lawan, dan berputar seakan enggan untuk masuk ke dalamnya. Semua mata
terfokus pada bola yang seakan mencari perhatian dari mata yang terus
memandang. Dan ternyata bola itu terjatuh, bukan ke dalam ring lawan, melainkan
ke luar ring lawan. Sekelebat bayangan yang kulihatpun membuatku tersenyum
indah walau rasa sakit yang tak tertahankan menghantam diriku. Ya, dia adalah
rian yang sedang merebound bola yang kutembakkan dari jarak jauh itu. Dan
dengan rebound darinya bolapun masuk ke ring lawan dan skor menunjukkan angka
100-99 sekaligus menghantarkan tim kami melaju ke babak final. Sorak sorai penonton
memecah keheningan, dan pendukung tim kami berhamburan, membawa ardi keliling
lapangan.
Namun di tengah itu semua, tiba-tiba
mengalir darah segar dari lenganku yang terjatuh dengan kerasnya akibat
tubrukan dari lawan tadi. Ah... lenganku terasa mati rasa, tak mampu
kugerakkan. Tiba-tiba Intan yang menyadari keadaanku langsung menghampiriku.
Dipegangnya tanganku dengan lembutnya dan dengan kekhawatiran yang berlebih ia
balutkan perban ke lenganku yang penuh dengan darah itu.
“Kamu ga kenapa-kenapa kan yan? Kamu
langsung istirahat aja, nanti tambah parah sakitnya” Ungkapnya lugu, bagai
seorang kekasih yang tak ingin kehilangan orang yang dikasihinya.
Tiba-tiba aku teringat seseorang.
Ya, Fitri, pasti ia akan marah besar bila melihat perlakuan Intan kepadaku. Ah
tidak, mati aku. Kuterawang ke sekeliling lapangan, dan akhirnya aku menemukan
sesosok bidadari yang kucintai itu. Tapi apa yang terjadi? Wajahnya tampak
merah, menandakan ia sedang marah besar padaku. Langsung saja ia palingkan
wajahnya dan berlalu dari pandanganku. Ah Fitri... jangan untuk kali ini.
Karena besok kita akan pergi untuk mensurvei vila tempat teman-teman kelas kami akan menginap.
Dengan darah yang terus menetes dari
lenganku, langsung kukejar dirinya yang terus berlalu ke bagian belakang
kampus. Langsung kuraih tangannya agar ia menghadap dan menatap wajahku.
Kutatapi wajahnya yang begitu cemburu akibat perlakuan intan kepadaku. Untaian
maafku, hanya bisa tertahan dalam kelu lisanku. Aku tak mampu berkata-kata bila
cemburu sudah merasuki dirinya. Tiba-tiba ia melempar sesuatu ke arahku seraya
berkata dengan nada marahnya.
“Nih aku kembaliin cincinnya.
Lupakan rencana tunangan kita minggu depan. Tunangan aja sana sama intan!”
Diriku ambruk tak berdaya. Sakit...
begitu sakit rasanya. Bukan karena darah yang terus mengalir dari lenganku,
namun karena aliran darah yang terasa terhenti saat ia ungkapkan isi hati.
Benarkah cinta yang hingga saat ini terus kupupuk dan kujaga akan pupus pada
detik ini? Apakah aku telah menodai kesucian cinta hingga ia rela mencampakkan
cinta yang tulus dariku? Oh Fitri... hanya nama itu yang terus terlantun dalam
zikir lisanku.
***
Aku=Fitri
Hati... aku memang makhluk berhati
yang tak tahan bila sedikit saja kau lukai. Aku makhluk perasa yang tak mampu
bertahan dalam logika, hanya rasa yang terus membahana menafsirkan cinta dalam
rasa. Dan aku makhluk pencemburu, andai sedikit saja kau tahu, satu langkah kau
jauh dariku seakan membawaku ke dimensi penuh kesendirian. Satu kata dari
seorang wanita, bagai ribuan pedang yang menghujam ke ulu hatiku. Andai...andai
kau mengerti wahai kasih yang kucinta dengan segenap jiwa.
Egoiskah aku? Ah tidak, ini semua
salahnya. Dia yang tidak memahami diriku yang selalu setia menjaga cinta. Dia
yang seakan tak menganggapku dengan segudang kesibukannya yang menguras
perhatiannya. Dia yang seharusnya mengerti, hati ini ingin selalu dicintai,
bukan sekedar untaian kata penuh hampa, namun bukti nyata dalam belaian jiwa...
ah sudahlah... biarlah sang waktu yang menjawab ini semua. Tak lagi aku ingin
disakiti, cukup Allah yang meyakini...
***
“Maaf ya mungkin aku agak telat
beberapa menit ke terminalnya.”
Ah dasar lelaki, tak pernah
menghargai arti dari sebuah waktu. Aku benci, aku benci dengan janji. Beberapa
menit sudah kumenunggu dalam diam. Di sampingku memang ada Intan dan Putri,
namun diriku enggan untuk memulai percakapan dengan wanita sok cantik itu. Tak
lama kualihkan pandanganku ke seberang jalan. Terlihat sesosok wajah yang tak
asing lagi bagiku yang sedang terengah-engah menjemput diriku. Oh betapa sejuk
hatiku saat menatap wajahnya. Dialah pangeran hatiku yang selalu membuat hatiku
cemburu.
Namun tiba-tiba serbersit kenangan
tentang intan kembali menghantui. Kupalingkan wajahku dari hadapannya, seakan
muak dengan apa yang telah terjadi. Rianpun sadar akan perubahan sikapku. Dia
sempat terdiam menatapku, entah apa yang ia pikirkan. Jengkelkah? Ah masa bodo,
toh dia yang sudah membuatku seperti ini. Namun tiba-tiba sekelebat bayangan
motor dengan cepatnya mendekati rian dan hampir saja menabraknya. Betapa
kagetnya diriku, entah apa yang akan terjadi bila motor itu menabraknya.
Mungkin aku hanya bisa diam terpaku dalam kebisuan sang waktu. Di saat
kekhawatiranku semakin memuncak namun kelu bibirku tak mampu ungkapkan kata,
tiba-tiba
“Kamu ga kenapa-kenapa kan yan? Lagi
mikirin apa kamu? Hati-hati kalau nyebrang”
Ungkap Intan membuat hatiku semakin
panas. Seakan intan telah membunyikan tabuh perang di antara kita. Ah sudahlah,
biarlah ia lakukan sesukanya. “bukan urusanku!” gumamku dalam hati.
Seakan tak mendengar dan berusaha
menjauh dari Intan, Rianpun menghampiriku. Namun lagi-lagi kecemburuanku
membuat wajah ini berpaling walaupun ingin sekali kumenatap wajahnya yang
sejuk.
Waktupun berlalu, namun mulutku
masih saja membisu. Derasnya air hujan seakan mengerti bahwa hati ini menangis
pilu, mentertawai kebodohanku. Lagi-lagi Rian korbankan dirinya menerjang
hujan, demi mencari alamat yang sebenarnya tersimpan erat di buku catatanku.
Namun mulutku tak mampu berkata, untuk sekedar memberikan catatan itu untuknya.
Oh Rian, mengapa kau masih saja berkorban untukku, padahal telah begitu
kerasnya kumenghantam hatimu? Aku yang dari tadi mematung sambil meneduh dari
hujan, menatap iba kepada Rian yang hujan-hujanan mencari tujuan. Payung yang
berada di genggamanku seakan tak mampu berpindah tangan untuk sekedar
memberikannya kepada Rian yang sedang kehujanan. Dan bersamaan dengan itu pula
“Yan, ini pake payung, nanti kamu
masuk angin loh keujanan gitu”
Sambut Intan menawarkan payung untuk
rian yang kehujanan. Sekali lagi aku berpaling darinya tanpa kata. Rian yang
melihat perubahan wajahku, langsung menolak halus penawaran dari intan dengan
tulus. Seakan mengerti bahwa hati ini sedang berperang melawan setan yang
membuatku ragu akan ketulusan cintanya. Oh Rian, betapa tulusnya cintamu. Namun
pantaskah dengan egoku, aku bersanding dengan kebijaksanaanmu? Sifat
kekanak-kanakanku bersanding dengan kedewasaanmu? Bahkan pengkhianatan diriku
bersanding dengan kesetiaanmu?
***
“Uhuk...uhuk...”
Terdengar suara batuk dari ruang
tengah. Oh tidak, Rianku pasti sedang sakit. Apa yang harus aku lakukan
untuknya? Akupun dengan segera keluar dari kamarku, membawakan selimut tebal
yang hangat untuknya.
“Rian, pakai selimut ini. Please
kali ini terima pemberian aku. Kamu bisa sakit kalau terus-terusan begini”
Dengan wajah terpaksa, karena memang
tak mungkin ia bisa bertahan dengan dingin yang terus menusuk jiwanya.
“Makasih ya Intan buat selimutnya”
Melihat kejadian itu, aku hanya bisa
berdiri mematung di depan pintu kamarku. Selimut yang aku bawa dari kamarku,
begitu saja jatuh dari genggamanku. Tak tahan aku melihat episode antara rian
dan Intan itu, hingga tak terasa air matapun perlahan membasahi pipiku. Begitu
derasnya, hingga bersama derasnya rintik hujan aku langsung berlari ke luar,
menjauh dari pemandangan yang menyayat jiwa.
“Fitri, tolong jangan lagi. Aku
ingin bicara sesuatu sama kamu!”
Perlahan langkahku terhenti di teras
villa. Hatiku begitu sakit, namun hati kecilku memohon padaku agar aku
melakukan apa yang dikatakan Rian kepadaku.
“Udah lah yan.. kamu kenapa masih
aja mikirin dia. Seharusnya dia yang mikir, gimana sakitnya menjadi kamu.
Dianya aja yang egois, ga mau mengerti perasaan kamu. Cewe macam apa dia yan.”
Terasa ada yang menjalar ke tubuhku.
Begitu kejamnya kah diriku di mata orang-orang? Pantaskah aku melakukan ini
semua kepada orang yang kusayang? Ah tidak, cukup. Hatiku sudah tidak kuat
melihat ini semua. Cemburu yang melanda hatiku semakin tak karuan adanya.
Akupun berlari di tengah hujan, walau hati kecilku terus berharap agar Rian
mengejarku dan menenangkan hatiku yang kian memburu.
Prakk...
“Jangan sembarangan kalo ngomong
tan. Cukup, aku sudah muak dengan semua perlakuan kamu. Jangan pernah sakitin
Fitri lagi!”
Cukup menyakitkan memang, akupun tak
menyangka, demi membela diriku Rian tega menampar Intan atas perkataannya.
Rianpun berpaling dari Intan dan terus mengejarku. Akupun terus berlari, entah
kemana hati ini kan lelah untuk berlari. Hatiku terus menjerit agar aku
hentikan langkahku, namun kakiku seakan tuli akan semua jeritan yang terlintas
dalam hati. “Rian... tangkap aku dan hentikan langkahku. Aku lelah berlari, tak
ingin jauh lagi darimu” Jeritku memecahkan keheningan dalam relung hatiku.
Akupun semakin lelah berlari, dan
langkahku terhenti pada sebuah pohon yang kokoh berdiri. Kutatap sekitarku.
Dimana diriku dan dimana pangeran hatiku?
Tiba-tiba sebuah tangan menggenggam
tangananku. Membuatku berpaling pada sebuah wajah yang selalu membuatku teduh
saat menatapnya. Didekapnya diriku dan dibisikkannya untaian kata yang membuat
diri ini melayang dalam khayal.
“Aku mencintaimu, sangat
mencintaimu. Ga akan ada yang bisa menggantikan dirimu di hati ini. Aku ga mau
kehilangan kamu, walau harus ditukar dengan nyawaku sekalipun. Percaya padaku
Fitri...”
Betapa hangat peluknya, membuat
dinginnya angin malam seakan hanya berlalu dalam hangatnya kalbu. Kurasakan
detak jantungnya yang berdegup begitu kencang bersama rintik hujan yang kian
membasahi. Tiba-tiba dikecupnya keningku, membuat getaran yang luar biasa di
sekujur tubuhku. Inikah rasanya dikecup oleh orang yang kita cintai? Entah apa
yang ada dipikiranku dan di pikirannya. Yang aku fikirkan hanyalah betapa
indahnya malam ini, malam yang ditemani kilau rembulan yang mengintip malu di
balik awan yang kian kemilau. Dan entah apa yang Rian pikirkan. Pertama kalinya
kursakan sentuhan tangannya dan lembutnya kecupannya.
Namun entah kenapa, tiba-tiba
bayangan intan kembali menguasai pikiranku. Aku yang dikuasai cemburu langsung
melepas dekapan erat rian, dan perlahan mundur dari hadapan rian. Dan tiba-tiba
lumpur licin membuat kakiku tergelincir dan terjatuh ke sebuah jurang yang
cukup dalam. Namun tiba-tiba terulur sebuah tangan yang menyelamatkanku dari
kematian. Lagi-lagi Rian. Entah sampai kapan ia akan terus mempertahankanku.
Aku yang malu dengan sifatku hanya bisa menangis dan meminta rian melepaskan
genggamannya dan membiarkanku jatuh, entah hingga kemana. Namun genggaman Rian
yang semakin kuat dan tatapan matanya yang tajam membuat air mata ini tak
henti-hentinya mengalir.
“Cukup Rian, biarkan aku terjatuh.
Aku tidak pantas untukmu. Aku.... aku... tak tahan lagi melihat dirimu tersiksa
atas segala sikapku...”
“Jangan bicara seperti itu Fitri.
Cukup.... Percayakan semuanya padaku. Aku ga akan membiarkan kamu pergi sekali
lagi dari hidupku... Tatap mataku, dan percaya padaku”
Melihat mata Rian yang tanpa ragu,
membuatku semakin tegar dan percaya padanya. Namun luka di lengannya kembali
terbuka dan darah mengalir hingga menetes ke wajahku. Ya Allah, aku tak sanggup
lagi melihat ia tersiksa seperti ini. Cukup. Ini semua salahku...
Melihat aku yang semakin putus asa
dengan keadaan, dengan lantangnya ia meyakinkanku.
“Okeyh, kamu siap? Dalam hitungan
ketiga genggam erat tanganku dan dekap aku dengan sepenuh jiwamu. Kita akan
melompat bersama.”
Apa? Melompat bersama? Begitu
berhargakah nyawaku baginya hingga ia korbankan dirinya untukku? Aku hanya bisa
mengaga mendengar pernyataan Rian tanpa ragu. Tanpa menunggu persetujuanku,
Rian langsung mulai berhitung disertai aba-aba dari tubuhnya untuk bersiap
melompat.
“Satu...Dua...Tigaaa...”
Entah apa yang terjadi. Aku hanya
bisa memejamkan mataku walau tak henti-hentinya air mata penyesalan mengalir
deras di pipiku. Hangat...begitu hangat dekapan tubuhnya. Semakin erat ia
mendekap kepalaku agar tak terbentur batu-batu terjal yang siap menghancurkan
apapun yang menghantamnya. Hanya melodi hujan yang kurasa, entah sebesar apa
dosa yang kuperbuat, kini ku sadar
semua, sadar akan berharganya cinta yang ia curahkan untukku... hanya untukku
seorang...
***
Cinta... Memang bukan sekedar kata
yang terlantun dalam untaian kata ataupun melodi doa. Ia terbias indah dari
nurani yang terlindungi, dalam ungkapan rasa yang tersusun rapi dari hati yang
saling mencintai. Ia begitu suci, hingga tak sepantasnya kau nodai. Biarkanlah
ia menanti dalam barisan kaca yang putih lagi suci, hingga sang waktu
memanggilnya dan mengikatnya dalam untaian kasih penuh harapan.
Tak perlu kau ungkapkan cinta,
karena ia telah terhubung dalam hati yang saling menanti. Cukup kau diam,
hingga suatu saat sang pangeran menjemputmu dalam penantian. Melukis mahligai
kasih dalam ikatan cinta yang terus kau jaga. Terbias indah, abadi hingga akhir
masa...
Penulis : Rahmat Beyazi
Source : www.whitekingdoms.blogspot.com
No comments:
Post a Comment