SETIDAKNYA AKU MENGETAHUI
PERASAANMU
“Teng.. teng..teng..”, seperti biasa setiap
bel berbunyi aku langsung bangun dari kursiku, bersiap untuk keluar dari kelas
tepat setelah guruku keluar. Beda dengan temanku Masyitah, tapi kali ini
terlihat berbeda. “Loh, kok kamu tumben cepat keluar Masyitah?” Tanyaku dengan
heran. Setiap pulang sekolah aku pasti menunggunya di taman dekat parkiran
sepeda karena pulang bersama sudah seperti hal wajib yang kami lakukan,
dikarenakan letak rumah kami yang satu arah. Namun, menunggunya kurang dari 20
menit adalah hal yang aneh bagiku. “Aku mau pergi bersama orang tua.” Jawab
Masyitah. Tanpa pikir panjang, kami langsung menaiki sepeda dan menelusuri jalan.
###
Hari ini adalah hari
libur, aku, Masyitah dan teman lainnya janjian untuk jogging di salah satu lapangan favorit kota kami. Namun waktu sudah
menunjukkan pukul 07.30 dan Masyitah belum juga datang, sudah dihubungi juga
tidak ada jawaban, sama sekali tidak ada kabar darinya. Padahal kami sudah di
gerbang lapangan dari 30 menit yang lalu. Sebelum matahari tersenyum lebih
lebar, kami bergegas untuk menuju start
dan memulai stretching. Setelah 4
kali putaran, kami memutuskan untuk beristirahat. Namun saat kami memeriksa
layar HP (handphone) masing-masing,
kami tidak menemukan pesan atau panggilan tak terjawab dari Masyitah.
Tak terasa, perut kami pun
minta untuk diisi. Kami mulai memperhatikan jajanan-jajanan yang terletak di
pinggir lapangan. Pilihanku jatuh pada lontong sayur. Sebelum makan, aku pun
melirik layar HP-ku dan ternyata nama Masyitah ada di sana dan aku langsung
membaca pesannya di depan teman-teman yang lain “Maaf ya, Din. Tolong bilang sama teman-teman yang lain juga kalau aku
ada keperluan mendadak dengan orang tua. Sekali lagi maaf ya.” Sambil
menyeruput minumku, aku membalas pesan Dinda kalau kami tidak mempermasalahkan
ketidakhadirannya namun hanya khawatir karena tidak mendapat kabar darinya. Tak
lama setelah aku membalas pesan, Dinda kembali menjawab, “Aku baik-baik saja, makasi ya semua. Maaf udah buat semua khawatir.”
###
Tak terasa, hari Senin
kembali hadir. Rutinitasku kembali dimulai. Namun, kebiasaanku menunggu
Masyitah setelah pulang sekolah sepertinya sudah hilang. Bukan berarti aku
tidak pulang bersama Masyitah, melainkan selepas bel berbunyi dia langsung
bergegas keluar dari kelas, jadi kami langsung pulang tanpa perlu aku
menunggunya sampai 30 menit lamanya. Sepertinya kebiasaannya yang senang
berlama-lama di kelas sudah sirna, mungkin dia tidak tega melihatku selalu
menunggu.
Seminggu lagi ujian tengah
semester akan dimulai, aku dan teman-teman kelasku sudah mulai membuat kelompok
belajar. Kami juga membagi orang-orang yang ditugaskan untuk menjelaskan saat
belajar kelompok. Aku salah satunya, ditugaskan untuk menjelaskan pelajaran
Biologi. Lagi-lagi aku satu grup dengan Masyitah, dia juga mendapat tugas untuk
menjelaskan pelajaran Matematika di grup kami. Hari Jumat adalah hari terakhir
belajar kelompok. Ketika aku dan Masyitah di jalan pulang, aku mengajaknya
menikmati es krim di hutan kota. Sambil menikmati kenikmatan yang ada, kami
berbincang tentang masa kecil kami yang punya ceritanya masing-masing.
Pertemanan kami sudah dua tahun lebih semenjak kami bertemu di kelas orientasi
sekolah, aku merasa kami semakin akrab dan dekat.
###
Setelah ujian sebelum
pembagian rapor, kekosongan hari-hari kami diisi dengan melakukan kegiatan ekstrakurikuler
atau ekskul. Aku mengikuti lomba tarik tambang dan bulu tangkis. Sudah dua hari
berlalu aku tidak melihat Masyitah. Di hari ke tiga, “Masyitah, kamu ke mana
aja?” tanyaku tanpa basa-basi ketika melihat Masyitah di depan pintu kelas.
“Aku ada urusan keluarga, lagian lomba cerdas cermat juga baru dimulai hari ini,” jawab Masyitah.
“Eh, kamu satu grup sama si dia, bukan sih?” aku mencoba memastikan si dia,
yaitu si juara kelas yang aku kagumi sejak semester satu. “Iya, mau aku
kirimkan salam?” ganggu Masyitah. Dengan pipi memerah aku menolak tawaran
Masyitah. Tak lama kami berjalan menuju aula sekolah untuk lomba cerdas cermat.
Tak terasa hari pembagian
rapor pun tiba, seperti biasa si juara kelas tetap menjadi juara. Masyitah pun
tidak mau kalah, dia naik satu tingkat dari ranking empat semester lalu. Aku
masih setia di peringkat ke lima. Tanpa sengaja aku melihat si juara kelas yang
kukagumi berbincang lama dengan Masyitah. Mereka terlihat lebih akrab semenjak
ekskul. Masyitah dengan cepat langsung meninggalkannya saat mengetahui aku
melihat mereka.
###
Hari ini adalah hari ulang
tahunku, aku merayakannya di rumah dengan mengundang teman-teman sekolahku.
Sebenarnya aku hanya ingin acara makan-makan yang sederhana, namun orang tuaku
membuatnya dengan sangat istimewa. Sampai-sampai, aku tidak bisa berkata-kata
ketika melihat gaun yang akan aku kenakan malam nanti.
Acara pun dimulai,
rangkaian demi rangkaian dilewati. Namun, aku tidak melihat si juara kelas. Aku
harap dia tidak ada bukan karena aku lupa mengundangnya. Ternyata dia datang
terlambat dan sangat-sangat membuatku terkejut. Aku tak tau apa yang ada
dipikiran dan hatiku saat itu, tapi yang jelas pikiran positif sama sekali
menjauh dari kepalaku. Semua bukan karena dia datang di rangkaian terakhir
acaraku atau apapun itu, tapi dia datang bersama Masyitah.
Aku baru menyadari sedari
tadi Masyitah belum hadir. Awalnya aku mengira Masyitah tidak kelihatan karena
asyik bersama teman kelas kami lainnya. Karena MC mengetahui Masyitah adalah teman dekatku, mereka langsung memanggil
Masyitah dan memintanya melontarkan wish-nya
untukku. Aku sama sekali tidak dapat mendengarkan apa pun yang dikatakannya,
aku adalah orang yang tidak lihai menyembunyikan emosi dan pikiran negatif,
tapi aku mencoba karena dia adalah teman baikku.
Setelah acara selesai,
kami melakukan sesi foto bersama termasuk Masyitah dan si juara. Setelah foto
dua kali, Masyitah mendekat ke arahku dan meminta izin untuk pulang lebih awal
dan meminta maaf, “Dinda, maaf ya aku tadi telat datang dan sekarang aku malah
mau izin pulang duluan. Aku ada perlu sama orang tua. Semoga umur kamu berkah
ya. Semoga kita selalu jadi teman baik, aamiin..”, aku hanya bisa menganggukan
kepala. Aku bingung harus berkata apa. “Masyitah, kamu perlu diantar ga?” Tanya
si juara. “Sudah pesan taxi online kok” jawab Masyitah sambil pergi menuju
teras rumahku.
Perasaanku malam itu
bercampur aduk, aku tidak bisa membedakan lagi perasaan senang dan sedih. Aku
tidak henti bertanya dalam hati, apakah Masyitah dan si juara ada hubungan atau
apalah itu. Aku benar-benar ingin tahu dan aku yakin raut wajahku sudah tak
karuan. Aku mencoba selalu tersenyum kepada orang-orang yang telah hadir ke
acaraku, termasuk kepada orang tuaku yang sudah sangat baik membuatkanku acara
seindah itu, namun bibir ini terasa sulit untuk dilengkungkan.
###
Liburanku dimulai dengan
tanda tanya yang tidak ada habis-habisnya. Hati kecilku yakin Masyitah tidak
mungkin ada hubungan lebih dari seorang teman dengan cowok sangat aku kagumi
tanpa sepengetahuanku, karena dia tau aku sangat menyukai si juara kelas itu.
Tapi penampakkan malam itu membuatku sangat bertanya-tanya. Entah mengapa aku
enggan untuk bertanya langsung ke Masyitah. Belum lagi hal sebelumnya membuat
pikiran negatif terus menghantui pikiranku, Masyitah sering telat bahkan tidak
ada kabar ketika diajak kumpul bersamaku dan teman-teman yang lainnya. Selain
itu, minggu-minggu terakhir semester lalu pun dia tidak seperti biasanya, yang
dulunya sering telat malah selalu pulang pada waktunya. Aku juga melihatnya
jalan bersama si juara setelah pembagian rapor dan langsung cepat-cepat pergi
ketika melihatku.
Karena aku lelah dengan
semua pertanyaan yang ada di kepalaku, aku memutuskan untuk bertanya langsung
ke Masyitah dengan menemuinya di rumahnya. Saat aku mendekati rumahnya, aku
melihat sosok yang sangat familiar, yaitu Denis. Denis adalah teman dekatnya si
juara kelas. Semua pikiran negatif seketika datang, aku pun langsung menebak
bahwa cowok yang aku suka pasti ada di sana juga. Semua pertanyaan seakan
terjawab sebelum aku bertanya. Karena emosiku mulai tidak stabil, aku
mengurungkan niat awalku. Aku memutuskan untuk pergi mencari es krim, my moodbooster.
“Din.. Dinda..” saat aku
duduk-duduk di taman, tiba-tiba dari belakang tempat aku duduk ada seseorang
yang memanggilku. Ternyata, yang baru saja aku lihat, “Denis?? Kok kamu di
sini?” Tanyaku sambil mengerutkan dahi. “Seharusnya aku yang nanya ke kamu, kok
kamu ga mampir waktu lewat rumah Masyitah?”,”hehe.. tadi ga sengaja lewat aja,
trus emang ga niat mampir.” dalam hatiku sangat menyesal karena telah berbohong
tapi aku tak tau harus menjawab apa.
“Eh
Din, kamu suka sama temen aku kan?” sambung si Denis yang membuatku sangat
terkejut. Aku tidak langsung menjawab, aku hanya mengerutkan dahi seolah-olah
tidak mengerti. “Itu lho, si langganan juara kelas.” Tambah Denis dan aku tetap
tidak bersuara. Namun Denis pantang menyerah untuk mengulik lebih. “Santai aja
kali, aku tau kok. Lagian kelihatan kalau kamu itu suka banget sama dia. Kalau
ada dia kan kamu suka malu-malu ga jelas gitu. Masyitah juga menolak waktu aku
minta tolong si juara kelas itu yang anterin dia ke acara ulang tahunmu malam
itu, karena dia takut kamu marah.” Jelas Denis yang membuatku benar- benar
terkejut.
Hanya
ucapan terima kasih yang keluar dari mulutku untuk Denis, Denis pun semakin
bingung. Aku pun mengakui kalau aku memang menyukai teman baiknya itu dan
menceritakan segala kegelisahanku setelah acarah ulang tahunku itu. Sekarang
giliranku mengulik Denis, “Trus kamu ngapain ke rumah Masyitah?”, “Aku kan
tetangganya dia, Din. Masa sih dia ga pernah cerita?” jawab Denis. “Emang
penting banget ya dia cerita kalau kamu itu tetangganya, Den.” Jawabku sambil
tertawa kecil. Pikiran-pikiran negatif mulai menjauh dari kepalaku, aku
menganggap semua kejadian yang ada adalah perasaanku yang berlebihan saja.
Lama duduk tanpa membahas
apapun, Denis menyambung dengan topik lain, “Tadi aku kira kamu mau jenguk
orang tuanya Masyitah, makanya aku bingung kenapa mobil kamu lewat gitu aja.
Trus waktu aku beli makanan di sana aku lihat kamu duduk, bengong ga jelas
makanya aku samperin deh” Pernyataan Denis yang terakhir membuatku benar-benar
bingung, “ngapain dijenguk, Den?” “Kamu ga tau ya??” sambung Denis saat melihat
mukaku yang kebingungan.
Setelah
duduk hampir dua jam bersama Denis, ternyata aku baru mengetahui kalau Ayahnya
Masyitah ternyata sedang sakit parah. Hal ini memang dirahasiakan oleh
Masyitah, dia takut orang-orang di sekitarnya merasa khawatir terhadapnya,
termasuk aku. Denis saja bilang bahwa dia tau itu semua dari orang tuanya yang
bertetangga dengan Masyitah. Semua pertanyaanku benar-benar terjawab tanpa
perlu aku bertanya. Ayahnya juga yang menjadi alasannya pulang tepat waktu atau
tidak ada kabar saat diajak ngumpul. Bahkan menurut cerita Denis, ayahnya
Masyitah sudah beberapa kali masuk dan keluar rumah sakit.
Selesai mendengar itu
semua, aku langsung ke rumah Masyitah untuk menjenguk ayahnya dan meminta maaf
atas semuanya, aku juga bukan teman yang baik karena tidak mengetahui kalau
temanku yang sangat baik itu sedang ditimpa musibah. Awalnya aku sangat kecewa
karena dia tidak memberitahuku tentang ayahnya. Tapi setelah Denis menjelaskan
panjang lebar, aku yakin dia punya alasan yang cukup makanya tidak membiarkan
aku tahu hal tersebut. Sebelum pulang, aku juga berpesan kepadanya, “Jangan
malu untuk cerita kepadaku. Hal sesedih apapun itu. Walau aku tidak selalu
punya solusi, setidaknya aku mengetahui perasaanmu, Oke Masyitah?” setelah
mengetahui segalanya sekarang aku lega. Semoga aja setelah ini tidak ada lagi
prasangka burukku terhadap Masyitah ataupun orang lain. Mungkin aku harus lebih
berani meminta penjelasan agar tidak cuma bermain dengan perasaanku sendiri
yang belum tentu kebenarannya.
Oleh: Dayu Amelia (Erciyes University, Kayseri, Turkey)
No comments:
Post a Comment