Transformator Metropolitan

Pesta rakyat setiap 5 tahun sekali itu selalu disambut meriah. Tidak. Tidak oleh rakyat melainkan oleh calon wakil rakyat dan para media. Tak sedikit rakyat yang bersikap acuh ketika hari di mana pesta rakyat tersebut dilangsungkan. Entak sejak kapan dan sampai kapan rakyat Indonesia akan terus bersikap seperti ini. Tapi hanya satu yang mereka ketahui, ini semua ulah transformator. Meski begitu para transformator tetap saja berulah bahkan semakin banyak menumbuhkan bibit-bibit transformator baru.

Pagi telah datang. Raja siang muncul dibalik awan kelabu. Langit Jakarta sedikit murung, tak secerah biasanya. Padahal sekarang sudah bulan Mei. Seharusnya musim hujan telah berlalu. Meski begitu kemurungan kota Jakarta tidak memengaruhi suasana hiruk pikuk kota metropolitan itu. Kemacetan masih saja terlihat di beberapa ruas jalan. Salah satunya di Jalan Basuki Rahmat. Hal ini dikarenakan kampanye besar-besaran menjelang Pemilu bulan Juli mendatang. Di sepanjang jalan pun terpampang sejumlah baliho berbagai ukuran dari masing-masing calon yang akan dipilih. Zulkifli salah satu calon yang diusung dari Partai Tunas Rimba itu pun tak mau kalah. Ia berlomba-lomba dengan ratusan bahkan ribuan calon lainnya untuk menduduki kursi yang berjajar rapi di Jalan Jenderal Gatot Subroto.

"Kita harus melakukan perubahan. Coba saudara lihat jalan dan jembatan, ternyata banyak yang rusak. Sekolah banyak yang tidak layak. Terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme. Itu tidak benar. Siapa lagi yang harus melakukan perubahan kalau bukan kita-kita ini, kasihan rakyat, harus diperjuangkan kesejahteraannya. Pokoknya kita ke depan harus membangun pemerintahan kerakyatan. Kalau mau jadi pemimpin jangan hanya mau enaknya saja, hanya di atas mobil, perlu turun ke masyarakat, harus berani berjalan di atas jalan becek. Kalau saya tidak tepati janji, boleh saudara-saudara bakar rumah saya, cegat mobil saya di jalan, pukul saya. Hidup partai Tunas Rimba. Pasti menang. Partai Tunas Rimba menang, rakyatnya sejahtera, makmur, karena pemimpinnya yang amanat,” teriak Zulkifli sebagai calon yang diusung dari partai Tunas Rimba itu.

***

Pemilihan pun dilakukan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Masyarakat di sekitar tempat tinggal Zulkifli dan tempat-tempat yang ia datangi sewaktu kampanye rata-rata memilihnya. Saat perhitungan suara Zulkifli unggul dengan suara terbanyak dibandingkan kandidat yang lain dan mulai hari itu Zulkifli terpilih menjadi anggota DPR dan berhasil menduduki kursi yang telah diimpikannya.

Tiga bulan berlalu, membuat kehidupan Zulkifli dan keluarganya bak seorang raja. Rumah mewah, fasilitas lengkap, supir pribadi dan mobilnya tinggal pilih, mau makan apa saja bisa. Tak segan-segan ia kerap kali mengajak tetangga-tetangga di sekitarnya untuk makan malam bersama di rumahnya setiap malam Minggu. Tentu saja hal itu membuat para tetangganya semakin yakin bahwa pilihannya dulu tak salah.

Tetapi setahun berikutnya, segala sikap ramah itu sirna seketika. Jabatan yang telah mengangkat nama dirinya lantas membuat dia berubah 180 derajat. Bak kacang lupa kulitnya. Ia bersikap angkuh pada orang-orang yang telah memilihnya dulu. Hal itu tentu saja membuat kepercayaan para tetangganya perlahan mulai menghilang.

“Buat apa aku terus-terusan memperlakukan mereka dengan baik? Bisa bangkrut aku kalau setiap malam Minggu harus mengajaknya makan malam di rumahku,” begitulah ujar Zukifli pada supirnya.

“Tapi Pak, mereka kan juga berpengaruh besar terhadap kondisi Bapak saat ini. Tanpa mereka Bapak tidak akan hidup serba ada seperti ini,” balas supir Zulkifli yang sedang mengemudikan mobil mengantarkan Zulkifli ke sebuah hotel berbintang untuk menghadiri sebuah acara.

“Sudah sudah, kenapa kau malah membela mereka? Atau kupecat kau,” dengus Zulkifli kesal dengan perkataan supirnya barusan.

“Maaf Pak,” supir Zulkifli hanya bisa menunduk pasrah dan kembali berkonsentrasi pada kemudi mobilnya daripada harus menerima surat panggilan atas pemecatan dirinya.

***

Setibanya Zukifli di hotel berbintang, ia melenggang masuk ke dalam hotel tersebut dan sesekali menyapa kerabat kerja yang dikenalnya. Tapi dari belakang ada seseorang yang menepuk pundaknya membuat dirinya terkejut.

“Selamat sore Pak.”

“Oh iya, selamat sore,” jawab Zulkifli pada seseorang yang bernama Bambang itu.

Pak Bambang adalah orang yang memiliki pengaruh banyak terhadap kedudukan dirinya sekarang. Ketua juru kampanye itu rela berkorban demi sebuah kemenangan Zulkifli.

“Begini Pak, hutang-hutang Bapak untuk membayar dana ganti pemilihan kemarin sampai setahun ini belum lunas Pak. Kapan akan Bapak lunasi?” tanya Pak Bambang.

“Apa tidak bisa kau tangani urusan itu? Aku terlalu sibuk untuk saat ini,” jawab Zulkifli sedikit angkuh.

“Insya Allah bisa Pak, tapi dari mana lagi kita mendapatkan dana untuk mengganti semua hutang Bapak?”

“Apa kau tak ada ide lain? Lagi pula bukannya batas waktu pengembaliannya itu 2 tahun?” ujar Zulkifli yang mulai bosan dengan pembicaraannya.

“Kalau Bapak terlalu lama untuk melunasinya akan semakin banyak bunga yang harus Bapak terima. Atau begini saja, Bapak tanda tangani berkas ini dan semuanya akan beres,” tawar Pak Bambang.

“Berkas apa ini?” tanya Zulkifli dengan tatapan curiga.

“Semua urusan keuangan Bapak akan beres dengan berkas ini. Uang pembayaran hutang Bapak langsung lunas.”

Zulkifli berpikir sejurus. Terus memikirkan pernyataan Pak Bambang itu. Ini benar-benar kesempatan besar. Melihat berkas yang hanya perlu ditandatangani dan semua kasus keuangannya akan beres. Pikirannya berkecamuk. Ia terjerat kebingungan. Menandatangani berkas itu atau tidak. Sekarang pilihan itu ada pada tangan Zulkifli. Ia menarik napas sedalam-dalamnya. Keringatnya mulai berpancaran turun. Tangannya gemetar menggenggam bolpoin di tangan kanan. Zulkifli menatap wajah Pak Bambang itu yang semakin cemas menanti keputusannya. Lalu akhirnya ia berdiri dari kursi dengan perasaan masih berkobar.

Perlahan digoreskan tinta hitam pena tersebut di atas meterai bernilai Rp6000,00. Walau sedikit ragu ia lakukan, ia harap semuanya akan beres dan baik-baik saja.

“Terima kasih telah menandatangani berkas ini Pak,” ujar Pak Bambang. Zulkifli hanya mengangguk ragu dan segera berlalu pergi meninggalkan Pak Bambang seorang diri di tempat itu untuk segera menuju ruang pertemuan.

Tanpa diduga, seminggu kemudian tiba-tiba datang sekelompok orang yang bersenjata dan berseragam lengkap menyergap Zulkifli di rumahnya. Mereka adalah tim pemberantas korupsi (TPK). Dan akhirnya mereka meringkus Zulkifli menuju mobil polisi yang tentu saja disambut oleh sindiran pahit nan pedih oleh para tetangganya yang sedari tadi memerhatikan rumah Zulkifli penuh dengan mobil polisi.

“Ternyata ia sama saja dengan transformator lainnya. Bagaimana negara ini akan maju jika wakil seperti itu semua? Saya menyesal telah memilihnya dulu.”

“Iya benar. Di mana janji-janjinya dulu sewaktu kampanye? Kita telah dibohonginya.”

“Dulu saja ia berorasi tentang korupsi, nyatanya dia sendiri yang melakukannya. Omong kosong.” Begitulah sindiran yang sengaja dilontarkan pada Zulkifli saat ia lewat di depan mereka. Hujatan, makian, dan perkataan pedih lainnya ia dengar dengan jelas. Menembus gendang telinga dan menyayat hatinya yang mulai rapuh. Zulkifli hanya bisa menunduk malu menyesali perbuatannya.

Keesokan harinya persidangan dimulai. Dalam sidang itu Zulkifli diberikan pertanyaan-pertanyaan yang amat banyak. Dan dipaparkan beberapa bukti-bukti. Dari sidang tersebut Zulkifli ditetapkan bersalah dan harus membuatnya kehilangan seluruh harta kekayaannya. Dan membuat Zulkifli harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus tinggal dibalik jeruji besi penuh cercaan itu. Ia sadar ia tak akan disambut baik ketika ia kembali nanti. Bak peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga. Segala janji dan harapan yang pernah ia ucapkan dengan lantang dahulu hanya dianggap bualan semata. Dan ia juga tersadar bahwa ia sama saja seperti tikus berdasi dan para transformator lainnya yang hanya semakin membuat keadaan dan rakyat Indonesia terpuruk.

Sosok wakil rakyat yang dirasa dapat mengubah pandangan buruk rakyat rupanya sia-sia. Lagi-lagi rakyat Indonesia harus dibuat kecewa oleh mereka. Ya, mereka para transformator. Mereka, pengubah nasib Indonesia. Satu pertanyaan yang terbersit dibenak rakyat, “Akankah ada sosok malaikat diantara wakil rakyat itu?”. Semoga.



Oleh: Alinda Putri Dewanti

No comments:

Post a Comment

Pages