Chapter one - Beyaznâme,inti dari sebuah perjalanan


Malam nan pekat begitu sempurna indahnya bersama rembulan yang kiat melekat. Bintang-bintang kemerlap tak ingin kalah, bersimponi menyanyikan alunan malam yang sejuk lagi menyegarkan. Hanya bisikan angin malam yang tak lelah bersahut-sahutan melelapkan semua insan. Sunyi lagi sepi. Hanya zikiir dan tasbih sekelompok jangkrik yang mampu membuat siapapun yang mendengarnya terlena akan indah malam, ciptaan tuhan semua alam.

Tampak sebuah cahaya putih, benderang dan menyilaukan pandangan. Yang mulanya jauh, kini semakin dekat dan jelas apa yang ada di dalamnya. Seorang lelaki tua, berpakaian serba putih yang selaras dengan janggutnya yang tersusun rapi, sesuai Sunnah sang nabi. Matanya bersinar, meyakinkan siapapun yang menatapnya. Senyumnya renyah, menyejukkan hati yang memandangnya. Di kepalanya terpasang rapi, peci merah yang tingginya hampir sejengkal. Di jarinya tersemat manis sebuah cincin, layaknya muhur para nabi.

Ia mendekat, mengampiri diriku yang terpesona keindahannya. Nur di wajahnya, membuat siapapun tak pernah puas memandang. Kupandangi ia dan begitu seterusnya. Lalu ia mengulurkan tangannya sembari berkata “Gel evlladim, gel. Kemarilah wahai anakku”

Bagaikan sebuah boneka tanpa nyawa, tanpa kuperintahkan, tanganku menjulur ke arahnya. Iapun menggenggam erat tanganku hingga akhirnya ia letakkan tangannya di pundakku. Ia rangkul diriku bagai anak kandungnya sendiri. Mahabbah yang tak kukira, semakin semerbak harum hingga nuraniku bergetar, hingga kuberkata dalam diriku “inikah sebuah cinta?” . sejuk terasa di kalbu, hangat terasa di jiwa.

Selang tak berapa lama, aku merasakan diriku berada di sebuah dimensi lain yang tak kuketahui. Hanya cahaya yang mampu kulihat hingga menyilaukan mata. Hingga akhirnya aku mampu melihat sebuah selat besar yang menghubungkan dua daratan raksasa. Dengan dua buah jembatan raksasa sebagai penghubung di antara keduanya. Akupun terheran-heran, “Dimana aku?”. Namun pertanyaan itu hanya mampu kusimpan Dalam dada, karena lisanku kelu, tak mampu berucap sebuah kata.

Hingga akhirnya kami tiba di hadapan seorang tua lainnya di depan sebuah pohon besar di alun-alun sebuah masjid. Pria tua itu menunduk tazim, namun pria di sampingku memberikan sebuah isyarat hingga akhirnya pria itu bersikap seperti biasanya. Kuperhatikan sekitarku, aku tertarik dengan sebuah tulisan kaligrafi besar yang terpampang di pintu depan masjid. “Abu Ayyub Al-Alshari”. Tunggu, bukankah itu adalah nama lain dari khalid bin zaid, seorang sahabat Rasulullah yang dalam usia 85 tahun menjadi orang pertama yang mendaftarkan dirinya kepada Khalifah Yazid bin Umayyah ketika mempersiapkan pasukan ke konstantinopel?

Belum sempat aku mencerna semua keganjalan dalam fikiranku, pria tua yang bersamaku memberi salam untuk pamit dari Sayyidina ayyub Al-Anshari. Ia kembali merangkulku, hingga akupun ikut melayang bersamanya. Hingga akhirnya kami tiba di hadapan seorang yang sedang menunggang kuda putih dengan wajah yang begitu rupawan di halaman masjid megah lagi indah. Kutatap pria tampan itu. Ia jauh lebih tampan dari pria tua yang selama ini bersamaku. Bukan hanya karena nur yang sama-sama berpancar dari kedua orang itu, tapi juga paras wajahnya yang tak pernah aku lihat dalam hidupku. Artis manapun tak ada apa-apanya bila kubandingkan dengan dirinya.

Tiba-tiba pria tampan itu mengeluarkan pedang dari sarungnya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tersenyum kepadaku seraya berkata “Taklukkanlah mimpimu, lalu taklukkan kota ini”. Sorot matanya yang tajam, dan ghirah perangnya yang membara, membuat bulu kudukku merinding, memompa darahku hingga ia mengalir sepuluh kali lipat, dan membangkitkan semangatku hingga tak ada apapun yang mampu memadamkannya. Aku hanya mampu mengangguk pelan, hingga akhirnya aku sadari bahwa dialah Sultan Muhammad Al-Fatih atau dengan nama turkinya Fatih Sultan Mehmet sang penakluk Istanbul!

Ingin rasanya kuhamburkan diriku ke pelukannya, menyampaikan segala risau yang menghantui malam-malamku. Ingin rasanya tetap berada disana, mendengar nasihat dan petuahnya. Belajar apapun darinya hingga aku bisa menjadi seperti dirinya, menjadi sang penakluk. Setidaknya menjadi penakluk diriku sendiri.

Namun harapan itu sirna, hingga akhirnya pria tua itu kembali merangkulku, membawaku melayang di atas kota penuh berkah itu. Kota yang didamba-dambakan Rasulullah ketika rahib-rahib bizantium datang ke hadapannya, bercerita bahwa Khidir alaihi salam memerintahkan mereka untuk mendatangi beliau, meminta ludah suci beliau yang kemudian akan mereka padukan dengan air zam-zam beserta material-material lainnya untuk membuat kembali kubah Hagia Shopia yang saat itu runtuh bersama gempa besar yang melanda.

Ia membawaku berkeliling kota, melihat keindahannya dan menunjukkanku tempat-tempat bersejarah lainnya. Dimulai dari Masjid-Masjid bersejarah, kami kunjungi Yavuz Selim Cami yang berada tak jauh dari Fatih Cami. Lalu Suleymaniye Cami yang dibangun oleh arsitek terkenal zaman Turki Ustmani, Koca Mimar Sinan. Lalu agak ke arah timur sedikit, hingga kami tiba di Beyazit Cami.

Lalu sebelum kami tiba ke tujuan akhir kami, dibawanya diriku mengunjungi tempat tempat menarik, walau tak sempat aku berfikir, tempat apa itu. Entah sebuah pulau mungil dengan sebuah menara yang terkenal dengan kiz kulesi dan masyhur dengan hikayah-hikayah cintanya, membuatnya menjadi salah satu tempat paling romantic di Istanbul. Lalu masjid dengan bentuk seorang perempuan yang mengenakan roknya, sebuah masjid hasil dari rasa cinta Mimar Sinan kepada Mihrimah Sultan yang tak tersampaikan. Dan masih banyak lagi tempat lain, yang nanti akan kuceritakan bersama kisah-kisah menarik darinya.

Dan kini, yang membuatku tercengang adalah dua bangunan raksasa yang menjadi kiblat dari kota ini. Apalagi kalau bukan Aya Sopia (Haghia Sopia) dan Sultan Ahmet Cami (Blue Mosque). Kami berhenti di depan sebuah air mancur indah, yang berada tepat di antara dua bangunan raksasa itu.

Tiba-tiba suasana menjadi hening, hiruk pikuk para wisatawan seakan berada di dimensi yang berbeda dari dimensi tempatku berada. Kuperhatikan pria tua itu tertunduk sedih. Oh tidak, tiba-tiba air mata mengalir di kedua pipinya. Badannya sempat bergemuruh, menahan tangis yang kapan saja mampu terpecah, memecah hening yang menaungi dimensi kami. Ia terdiam sejenak, lalu perlahan ia angkat kepalanya sambil menatap lekat-lekat bangunan aya sopia yang sudah berumur 15 abad itu.

Ia berpaling ke arahku, sedikit menunduk hingga aku bisa melihat dengan jelas bola mata indah yang penuh kesedihan itu. Kutatap semakin dalam matanya, tersirat sebuah harapan yang entah mungkin tak mampu ia capai. Tersirat sebuah kekecewaan, namun aku mengerti harapannya lebih besar dari rasa kecewa itu. Ingin rasanya kuusap air matanya, mendengarkan keluh kesahnya, melakukan apapun yang diinginkannya hanya untuk melihat kembali senyum manis yang aku lihat di awal pertemuan dengannya.

Tiba-tiba ia ulurkan tangan kanannya, hingga ia mampu meraih pundakku, menepuknya lalu mengucapkan sebuah pesan kepadaku dalam harap dan cemas. Akupun hanya mampu meneteskan air mata sambil menganggukkan kepala bertanda bahwa aku akan menjaga pesan itu, dan melakukan apa yang dipesankan kepadaku. Melihat keteguhanku untuk memegang janji itu, iapun kembai tersenyum, bahkan senyumnya lebih indah dari senyum-senyum sebelumnya. Hingga akhirnya perlahan gambaran akan dirinya memudar, lalu perlahan terbias menjadi kumpulan cahaya-cahaya kecil yang berterbangan di atas ufuk Istanbul. Perlahan cahaya itu melayang, lalu ketika cahaya itu kembali terkumpul, seakan terjadi sebuah ledakan cahaya yang menyilaukan mata. Tak ada apapun yang mampu kulihat, hanya dua kalimat yang terngiang-ngiang di kepalaku. Yang pertama pesan dari pria tua itu, dan yang satunya sebuah syair merdu, indah lagi syahdu. Hingga akhirnya aku tersadar dari pembaringanku bersama sebuah buku tentang kekhalifahan Turki Ustmani. Dan aku mendapati sebuah gambar tak asing yang terpampang di halaman yang sedang kubaca. “Sultan Ustmani ke-33 Amirul Mu’minin ke-99.”

 

“Bu Şehri Stanbul ki bi-misli bahadır

Bir sengine yek-pare Acem mülkü fedadır

Bir gevher-i yek-pare iki bahr arasında

Hurşid-i cihan-tab ile tartılsa sezadır”

(Ini adalah Istanbul, sebuah kota tanpa tandingan

Sebuah batunya, seharga seluruh kekayaan semua insan

Bagaikan permata di antara dua samudra

Timbangannya setara matahari yang menyinari dunia)

Penulis : Rahmat Beyazi

Sumber : www.whitekingdoms.blogspot.com


No comments:

Post a Comment

Pages