Bosphorus Memanggilmu Pulang


Firdaus Guritno

Catatan Harian 1 : Bosphorus Memanggilmu Pulang

Dalam perjalanan menuju berdamai dengan diri sendiri, aku pernah melewati sejengkal dari barisan waktu di penghujung selatan selat Bosphorus. Dengan detail kontur lahan penampangan alamnya yang membuat mata bias, tempat duduk dekat dermaga ini adalah manfaat untuk kesehatan hati dan penyegaran ruhani. Berderet-deret keagungan Konstantinopel menggoda mata. Hagia Sophia, Topkapı Palace, Blue Mosque, Galata Tower, dan... yang sudah pasti terlalu jelas mengapung di pelupuk mata, Leanders Tower, atau lebih dikenal dengan Kız Kulesi.

            Bersandar di bangku sandar khas Turki di pinggiran Kız Kulesi dengan coraknya yang merendam badan ini ditemani dengan secangkir gelas seksi yang meliukkan seteguk teh hangat sebelum akhirnya larut kedalam kerongkongan merupakan perpaduan yang uniknya, mampu menggeretakkan urat-urat kaku di ubun-ubun yang telah banyak salah saring dan salah jaring hingga lebih mirip rute dolmus istanbul daripada jalur aliran neuronnya Albert Einstein. Hari ini aku datang jauh-jauh seorang diri kesini sebenarnya tidak serta merta meminta jawaban oleh lingkungan atas segala keresahan seorang Firdaus. Terlalu besar ekspektasi kadang suka membuat kita terlempar jauh ke atas tanpa memiliki pijakan yang mapan, awas jatuh!


            Ternyata hari ini Bosphorus menatapku lain, tahu ada pengunjung gamang yang menatapnya dengan menerawang, dimainkannya skenario nyata untuk mengetuk jiwa penulisku kembali pulang ke habitatnya. Berturut turut dipanggilnya malam agar tiba lebih cepat. Kenapa gerangan? Rupanya kenakalan Istanbul makin terlihat pada gemerlap dalam gelap! Tak hanya Jembatan Bosphorus yang membentangi rangkaian pernik warna-warni yang pelik akan rangkaian kombinasi satu-dua kedipnya, berjejeran pula kehidupan kuning emas, warna khas khiasan malam untuk Galata Tower, Kız Kulesi hingga cerahnya berhamburan ke lembaran gelombang selat. Fikirankupun terperanjat, kesimpulanku kilat. Jenuhku menulis ternyata karena terlalu berfokus kepada warna, hingga terlalu lupa akan transisi keindahannya ketika perkamen dipertemukan dengan lembaran pena.


Bosphorus Memanggilmu Pulang

Senja datang tergesa-gesa lihat anak kecil muram durja…

Pura-pura seperti biasa padahal menampakkan kilauan lebih keras dari biasanya…

Pura-pura tidak tahu padahal ingin mengarahkanku…

Bosphorus memanggilku pulang…

Datang kembali esok pagi dengan ceria…

Jangan lupa pula gumpalan perkamennya!...

4 Januari 2014

Catatan Harian 2 : Kembalinya Sang Prajurit

            Alur rajut penaku mulai lapang. Satu persatu dicariknya perkamen yang sudah penuh dengan tulisan dan dibumbuinya dengan nomor halaman. Perlahan gelora mataku juga berpenampang riang, tak lagi semu ketika masa pisah ranjangku dengan dunia penulisan. Aku sapa Bosphorus dari kejauhan, dipuncak bukit Çamlıca yang memancangkan kedua kakinya dibelahan asia Istanbul seakan begitu ingin menampakkan pemandangan seluruh aliran selat yang bermuara Laut Marmara. Aku mulai berdamai dengan keadaan.

            Perjalananku mengkhianati butiran tinta ini dan sekembalinya mungkin tiada dinyana, layaknya seorang prajurit yang salah melaksanakan komando pasukan dan kabur terbirit-birit dari medan perang namun kembali membawa seikat kepala pemimpin musuh. Namun ibarat tiada bisa lebih dari ibarat jika pemberhentianmu karena cinta dan kematian. Apa bisa kamu kembali meski tiada jalan kembali karena cinta? Tiba-tiba aku jadi teringat cerita legenda seorang prajurit di kota tujuh bukit ini yang entah mengapa harus buru-buru aku hadirkan sebelum matahari tenggelam di ufuk seberang bukit ini.

            Ialah Kharuz, prajurit yang lahir pada masa kerajaan Bizantium lama masuh belum meringkuk beberapa abad di kota muda Konstantinople, ketika perangainya dan gugusan darahnya yang biasa-biasa saja tak menempatkan dia pada posisi melebihi pengawal penjara kerajaan. Hingga suatu ketika ada desas-desus yang menggemparkan seluruh penjuru kota hingga ke barisan terluar tenda-tenda gelap penduduk gipsy. Bagaimana tidak, berita itu datang dari suatu ruang yang paling berharga diseluruh bilik kerajaan, yaitu dari kamar putri raja.

            Bukan hal yang biasa lagi jika kegundahan raja kali ini sampai kepada seluruh rakyatnya, hingga tiada rakyat yang tidak bersedih dan menunduk sayu bersamaan dengan duka cita sang raja yang mereka cintai. Ialah berita dari seorang penyihir legendaris Firuza yang mencantumkan perihal kematian putri raja yang tinggal menghitung bulan. Putri raja yang baru menginjak umur 16 tahun lebih itu diramalkan meninggal dunia digigit oleh seekor ular penyihir pada hari ketika usianya menginjak angka 17 kelak. Semakin hari berlalu setelah berita tersebut, semakin keruh pula hati sang raja yang tentu tak ingin memberitahukan semua hal ini kepada anak yang dicintainya.

            Selang beberapa minggu setelahnya, Raja kemudian beritikad membuatkan menarakecil ditengah lautan luas dimana selat Bosphorus bermuara hingga ke Laut Marmara, tepat di penghujung jelajah kota Konstantinople. Tak memakan waktu lama setelah menara ditengah laut itu jadi, Raja langsung mengerahkan pasukan-pasukannya untuk mengawal tuan putri didalam benteng yang dikenal dengan nama Kız Kulesi (Leander Tower) tersebut dengan Kharuz termasuk salah satunya setelah naik pangkat dari penjaga penjara kerajaan. Pasokan menuju benteng itu dibatasi dan hanya orang-orang tertentu yang dapat mendekati menara tersebut. Raja berharap bahwa tiada binatang sihir yang bisa mendekati tuan putri melalui jalur laut yang juga dikawal oleh pasukan-pasukan pilihan.

            Kini beberapa lama semenjak tuan putri diasingkan didalam menara, tinggal menghitung hari menuju ulangtahunnya yang ke-17. Lama berdiam bersama sedikit pengawal tentu membuat tuan putri banyak berbincang dan bercanda dengan pengawal-pengawalnya, hingga tidak ada yang tahu bahwa tuan putri menaruh cinta pada salah satu dari mereka. Tak perlu kalian menebaknya kawan, sudah pasti Kharuz lah yang memikat hati dengan bola mata hitam dan alis tebal khas pemuda persia. Jalinan cinta mereka kini menjadi rahasia yang tabu, hari-hari mereka diisi dengan pertemuan sembunyi-sembunyi setiap tengah malam didalam kamar tuan putri.

            Mengetahui ulangtahun Antonina yang tinggal menghitung hari, Kharuz pun berhasil mengambil izin berlabuh ke pesisir Uskudar untuk mencarikan hadiah. Setibanya dipasar, dengan kantong khas pengawal, tiada yang bisa dibelinya selain sebungkus anggur karena tentunya perak permata jauh dari jangkauan harga. Tepat di malam ulang tahun Antonina, Kharuz merancang rencana surprise kecil ini dan kembali ke Kız Kulesi.

            Di malam yang biru pekat, ketika langit terbuka akan cahaya ribuan penghuninya, Kharuz berhasil menyelinap ke kamar Antonina. Kaget bercampur bahagia tentunya mendapat hadiah ulang tahun dari kekasih rahasianya yang dimana malam bersejarah itu bahkan ayahnya yang seorang rajapun tidak menyempatkan hadir untuk merayakan. Dibukanya perlahan sebungkus anggur dan dipetiknya satu biji. Tiba-tiba, seekor ulat keluar dari balik anggur! Semakin lama semakin membesar hingga seukuran ular berpanjang 1 meter dan kemudian melilit leher tuan putri!

“Ajalmu telah tiba!” Desis ular tersebut seraya melayangkan dua patukan ke dahi tuan putri. Patukan pertamanya menidurkan, dan patukan kedua menyematkan bisa yang membuat tuan putri menghembuskan nafas terakhirnya dalam lelap.Tuan putri telah tiada! Kharuz yang melihat didepan mata kepalanya sendiripun menjadi kaget bukan kepalang dan segera meninggalkan tempat tersebut sebelum pengawal lain menyadarinya. Dicurinya sampan menuju tepian pesisir Uskudar dan menghilang diantara belantara malam.

Esok hari terngiang kabar duka, meninggalnya putri raja dan seluruh rakyat larut dalam kesedihan. Hilangnya Kharuz sendiri juga menjadi teka-teki, sehingga rajapun lebih menginginkannya kembali dalam keadaan hidup karena terbesit sedikit keyakinan bahwa Kharuz sendiri bukanlah pelakunya dan merupakan saksi kunci tragedi tersebut. Apa daya meski ratusan kilometer area sekeliling Konstantinople dijelajahi seluruh prajurit, tiada satupun yang melihat batang hidung Kharuz. Berangsur-angsur setahun terlewat, Kharuz kini bagai sebinar bintang yang hilang ditelan awan gelap.

Beberapa lama dari kejauhan terngiang kabar, sang prajurit telah kembali! Kharuz kembali membawa kabar bahagia, ia kembali seakan ia adalah prajurit yang berhasil menuntaskan misi kerajaan meski itu mengorbankan perjalanan cintanya. Kedatangannyapun disambut Raja Persia dengan tawa.

-Selesai-















No comments:

Post a Comment

Pages