Karya: Fahrly Adel Atthariq Alaa
Tak ada yang tak mengenal si gadis dengan topi kelinci. Berandalan judes paling berani, paling menantang, paling menyebalkan seantero kompleks persatuan kecamatan. Sudah banyak kebengisan yang dia lakukan sebagaimana menodai tembok-tembok polos menjadi lautan tinta, membangunkan ayam-ayam jantan untuk berkokok pada tengah malam dengan bising motor balapnya, serta menyebabkan kayanya pula seorang dokter akibat ratusan pasien sakit kepala yang pusing memikirkannya.
Tak ada yang tak mengenal si gadis dengan topi kelinci. Berandalan judes paling berani, paling menantang, paling menyebalkan seantero kompleks persatuan kecamatan. Sudah banyak kebengisan yang dia lakukan sebagaimana menodai tembok-tembok polos menjadi lautan tinta, membangunkan ayam-ayam jantan untuk berkokok pada tengah malam dengan bising motor balapnya, serta menyebabkan kayanya pula seorang dokter akibat ratusan pasien sakit kepala yang pusing memikirkannya.
Sekarang dia berjalan angkuh, sebuah spidol di
tangan kanan, tudung dan topi kelinci. Tiga kebatilan yang menjadi aksesoris
andalannya. Dia berhenti, sudah menemukan mangsa. Para foto caleg menjadi
korban naas, rupa mereka menjadi monster kadal dan tikus pemakan uang. Meski
jujur saja, tampang mereka lebih cocok setelah dicoreti.
Semuanya segan dengan gadis bertopi kelinci, semua
takut padanya. Kecuali sekarang, karena dia menjadi lebih busuk, saat ini dia
hanya sampah masyarakat pengisi sudut dalam kesempitan penjara.
Gadis itu meringkuk di sel tahanannya. Sedih dan
bosan, dua perasaan paling mengganggu bertemu. Matanya menatap kosong
langit-langit. Jam bebas berakhir dan tetangga selnya masuk kedalam. Seorang
laki-laki dengan gigi tajam.
“Kau tidak terlihat bahagia di mataku.” Dia nyengir
dan tertawa.
Sang gadis membalas, “Jelaskan padaku apa itu... bahagia”
“Melakukan
kejahatan.”
Yang bertanya langsung merespon, membalikkan kepala
secepat suara, “Aku juga suka itu.”
“Kau mengatakannya seperti Dora The Exploder.” Lelaki itu tergelak, menertawakan lelucon
miliknya. “Jadi... kejahatan apa yang membuatmu masuk kemari?”
Si gadis menjawab pelan. “Ada seorang anak
pejabat... dia bertengkar denganku... lalu dia mengatakan bahwa kata-kata
memang tak melukai secara fisik, tapi bisa melukai secara mental...”
“Lalu...?”
“Aku melemparkan ke wajahnya kamus Oxford”
Tanpa diaba-aba, sang lelaki tergelak hebat
mengguncangkan seisi sel. Para sipir berlarian datang untuk memukuli lelaki itu
agar tenang, tapi dia tak kunjung pula berhenti tertawa. Dia sudah cukup babak
belur ketika para sipir berlalu pergi. Dia berdiri dengan mata membiru, “Oh,
ini yang kusuka dari hukum negeri ini. Membuatku makin tertarik melakukan
kejahatan saja. Ha, ha, ha!” Nafasnya habis untuk tertawa.
“Orangtuaku bilang kalo setan itu memang menarik.”
Jawab sang gadis. “Namaku Purnama, kita belum berkenalan, bukan?”
“Panggil saja aku sebagai Dirimu. Bukan untuk bersikap sok misterius, tapi namaku memang Dirimu.” Dia tersenyum lebar. “Satu
lagi... kau mau tahu apa kejahatanku, bukan?
“Aku pernah membunuh orang... aku adalah tahanan
hukuman mati, dan bersikaplah berhati-hati denganku...” Senyumannya berbisa,
membuat Purnama mencekam di tengah kegelapan ruangan.
***
Siang hari. Makan siang tak lebih baik daripada
makanan binatang. Daging adalah mitos, sayur adalah teman. Cuaca sangat gerah
dibandingkan biasa, sementara ruangan makan rusak akibat satu perkelahian
kemarin. Dibebaskanlah mereka untuk makan di halaman. Purnama melangkah ke
halaman depan, panas khatulistiwa. Tapi di bawah pohon masih tempat yang teduh.
Dia mendekat, tapi langkahnya terhalang oleh sebuah badan. Dia menoleh, Dirimu
ada disana. Dia tersenyum, “Hai,” katanya.
Dirimu membanting nampan Purnama,
memporak-porandakan makanannya ke lantai.
“Hah!?” Purnama kesal, merasa dilakukan ampas. “Apa
masalahmu!?”
“Kau kesal? Marahlah padaku...” Dirimu memberikan
senyum meremehkan. Purnama marah, dan dia melemparkan sebuah tinju pada Dirimu.
Tinju itu pas mengenai muka Dirimu hingga terpelanting ke tanah.
“Oh, kau begitu kuat...” Dirimu meringis memegangi
hidungnya yang berdarah. “Aku tak suka memukul wanita... kecuali dengan kaki!” Ditendangnya
Purnama hingga terjungkal, seluruh mata mulai melirik ke perkelahian tersebut.
Debu meringsak kemana-mana menemani bunyi gedebak-gedebuk, keadaan semakin ricuh,
sekelompak orang mulai ikut memanas-manasi. Sipir datang saat konflik memanas.
Walhasil para tahanan kalang kabut termasuk mereka, bersembunyi agar tidak
disanksi lebih berat.
“Wups, stop!” tangan Purnama ditahan dan dikunci.
“Mumpung masih sempet, mari kabur,” ditunjuknya area kebun. “Cepat!”
Purnama ditarik hingga hampir terjungkal, lalu
dibanting jatuh. Mereka merebahkan diri terengah-engah. Saat sipir datang dan menanyakan
apa maksud dari semua ini, mereka hanya memberikannya satu jawaban.
“Oh, kami sedang asyik melihat awan.”
Sang sipir mengernyit. “Payah,” lalu pergi. Dirimu
memperhatikan orang itu tertawa cekikikan. Setelah berhenti, dia memalingkan
wajahnya ke Purnama.
“Kalau kau masih lapar, kau bisa memakan jatahku.
Kusimpan diam-diam dibalik pohon...” Dia menunjuk pada sebuah mangkuk, seekor
tupai asyik menikmati bubur kacang didalamnya. Purnama menggeleng. “Sekarang
aku tidak lapar.”
“Kau bertanya kenapa aku melakukan itu, bukan?
Yah... aku hanya ingin bersenang-senang sedikit...”
“Sebelum kau mati?”
“Tidak, aku sudah pernah mati. Aku jujur hanya ingin
bersenang-senang saja.” Jawabnya dengan tersenyum lebar.
“Kuakui, itu memang menyenangkan meski agak intens.”
“Dasar skeptis.
Terbang sana ke awan sekalian.” Dia menunjuk seekor burung yang terbang.
“Sayang kau baru bisa menyusulku terbang setelah
kepalamu dipenggal,” balas Purnama.
“Sayang kau akan menderita lebih lama, lebih busuk
di angkasa, lalu jatuh terbentur berkeping-keping ketika menyadari kau tak
punya sayap,” balas Dirimu.
“Sayang kau akan menghabiskan waktumu menjadi sampah
masyarakat, dibenci semua orang, dibenci kehidupan, sampai pada akhirnya kau
memotong pergelangan tanganmu dan menancapkan pisau ke kepalamu.” Balas Purnama
lagi.
“Sayang...,” mereka mengucapkannya berbarengan, lalu
terhenti kikuk. Kemudian mereka tertawa bersama. “Sayang kau idiot.” Lanjut
mereka bersamaan.
“Jadi...,” lanjut Purnama. “Bisa kau ceritakan apa
kejahatanmu?”
Dia yang ditanya membeku, lenyaplah semua senyum dan
tawa di penampang persegi wajahnya. Di bawah pohon dia langsung berdiri tegak
dan mengabaikan semuanya, melupakan pertanyaan dari pernyataan, melupakan
kenyataan dari pertanyaan yang diajukan padanya.
***
Tidak ada yang tidak bisa diketahui oleh Purnama si gadis bertopi kelinci.
Dia menguping, sebagaimana biasanya gadis pelayan
menguping pembicaraan majikannya, dia menempelkan telinga ke para sipir.
“Kapan dia mati?”
Yang satu bertanya balik “Siapa dia?”
“Kau tak perlu tahu namanya, cukup tahu bahwa dia
adalah dirimu.”
“Oh, besok.” Perkataanya disambung dengan “Si dokter
gila. Orang yang membunuh pasiennya sendiri. Menyuntikkan suntikan ke nona
tuanya yang sekarat, yang tak punya harapan hidup.”
“Semua manusia
itu tak punya harapan hidup.” Seorang sipir mengucapkannya dengan amat
pelan, membisiki bagai dewa kematian. “Apa
kita punya?”
“Tidak.” Jawab yang lain. “Kehidupan membenci kita para manusia. Mereka bahkan membocorkan
fakta yang sangat dirahasiakan seseorang kepada sahabatnya sendiri dalam
setengah halaman cerpen.”
“Apa yang kau bicarakan?”
“Tidak ada, mari pergi” Dan semua makhluk-makhluk
menjijikkan itu lenyap menuju pintu bertuliskan Cafetaria. Lagipula, Purnama
si gadis bertopi kelinci memang sudah mendapatkan faktanya dalam setengah
halaman cerpen.
Dia ingin
melakukan sesuatu.
***
“Aku ingin kau melakukan satu kejahatan untukku.”
Purnama menggebrak meja, lebih tepatnya bangku,
lebih tepatnya lagi sejenis balok yang bisa dipanggil bangku. Tidak adanya
tahanan lain disebabkan panasnya matahari benar-benar menyakiti kulit, kecuali
bagi para bodoh yang tak peka terhadap jahatnya mentari. Purnama salah satunya,
Dirimu juga salah satunya.
“Kejahatan... apa?” Dirimu menggumam tak yakin.
“Jangan yang tak bisa kulakukan.”
“Aku tahu kau tak bisa melakukan apapun, jadi
diamlah, dan dukung aku!”
“Apa yang bisa kudukung?”
“Kematianmu.”
Jawab Purnama “Jangan buat masalah hingga besok, oke? Akulah yang membuat
masalah, kejahatan kali ini adalah
milikku!”
Purnama memberikan sebuah tamparan ke pipi laki-laki
itu hingga membekaslah tangan kanannya besar-besar. Panas itu didobel, dan
menjadi pangkat tiga dengan tamparan lain.
“Oh! Sakit! Kenapa kau melakukannya?”
“Karena akulah pemilik kejahatan sejati!” Purnama
puas. Ditinggalkanlah dia dengan pipi memar-memar. Hatinya tersenyum penuh
kemenangan.
***
Seorang sipir masuk. Menarik tangan laki-laki dalam penjara. Biasanya dia menuju ruangan motivasi yang menjenuhkan, bertemu motivator membosankan, dan diajari materi kebaikan menjijikkan. Tapi hari ini berbeda, dia dibawa ke ruangan lain. Sebuah kursi ada di sana, di depannya Purnama duduk, dan dia memakai topi kelinci. Dirimu didudukkan di kursi yang lain, tangan-kakinya diikat di kursi. Sebuah helm besi dipasangkan, sebuah helm yang dicat pink kasar dan dihiasi coretan mirip kelinci.
“Bocah banget.” Dirimu tertawa.
“Daripada nihil.” Balas Purnama. “Apa perlu
kubocorkan bahwa sekarang dirimu akan mati?”
“Apa perlu kubocorkan bahwa permonohan terakhirku
ialah membiarkanmu menontonku mati?” Balas Dirimu lebih jelas lagi.
“Apa perlu kubocorkan bahwa akulah yang meminta para
sipir untuk menghiasi helm kematianmu?” Purnama menunjuk helm yang dipakainya.
Dirimu masih saja nyengir kuda. Wajahnya berusaha tegar, meski raut khawatir
muncul sekilas dan mulai membesar.
“Sayang tanganku terikat hingga aku tak bisa
membalas tamparanmu.” Dengan sorot mata sedih, Dirimu melontarkan pernyataan.
“Sayang aku sudah tahu kejahatanmu, jadi kau tak
bisa mengusik pikiran dan membuatku gila.” Purnama berdiri, mendekat menemuinya
tapi terhalang jeruji besi dan sepuluh pengawas.
Dirimu agak kaget, tapi masih tersenyum. “Sayang kau
masih bebas jadi kau akan terhantui olehku setelah aku mati.”
“Sayang kejahatanku ialah tak bisa menyelamatkanmu.” Balas Purnama.
“Sayang kejahatan terakhirku ialah memintamu
melihatku hingga mati.”
Kontrol listrik dinaikkan, parameter tegangan naik.
Denging kematian mendekat.
“Sayang Dirimu bukanlah yang ditakdirkan untuk
Purnama.”
“Sayang Purnama Dirimu tidak pernah ada.” Kata
Dirimu, senyum itu masih ada. Purnama bisa melihat listrik mengalir dan
menyengat tubuh laki-laki itu di kursinya. Dia kejang, tapi senyum itu masih
ada. Dan dia melihat Purnama yang menitikkan air mata.
“Sayang...” Ucap mereka berdua lirih, hampir tak
terdengar di telinga, namun suara itu akan membekas di hati selamanya.
No comments:
Post a Comment