Karya: Sri Ramadanti
Di tengah keramaian aku menggenggam beberapa balon udara dan membagikannya kepada anak-anak kecil yang lewat. Iya, aku membagikan balon, bukan menjualnya. Sudah dua tahun terakhir aku melakukan pekerjaan ini tanpa pamrih, tanpa imbalan uang atau apapun. Aku hanya ingin melihat senyuman anak-anak kecil itu, senyuman suci, senyuman murni tanpa kepalsuan. Mungkin ada beberapa orangtua yang mengira aku menjual balon-balon ini, setiap mereka menyodorkan uang aku hanya bisa menggeleng, menolaknya sambil tersenyum dan berkata "sa-ya ikh-las" dengan bahasa isyarat. Namaku Bahar dan seperti dugaanmu, aku sudah tuli dari kecil.
Di tengah keramaian aku menggenggam beberapa balon udara dan membagikannya kepada anak-anak kecil yang lewat. Iya, aku membagikan balon, bukan menjualnya. Sudah dua tahun terakhir aku melakukan pekerjaan ini tanpa pamrih, tanpa imbalan uang atau apapun. Aku hanya ingin melihat senyuman anak-anak kecil itu, senyuman suci, senyuman murni tanpa kepalsuan. Mungkin ada beberapa orangtua yang mengira aku menjual balon-balon ini, setiap mereka menyodorkan uang aku hanya bisa menggeleng, menolaknya sambil tersenyum dan berkata "sa-ya ikh-las" dengan bahasa isyarat. Namaku Bahar dan seperti dugaanmu, aku sudah tuli dari kecil.
Orangtuaku
sudah berulang kali mencoba berbagai hal agar aku bisa mendengar seperti
anak-anak lainnya, tetapi selalu gagal. Dari kecil aku sudah terbiasa seperti
ini, duniaku sepi, aku hanya dapat melihat senyuman-senyuman indah dari
orang-orang sekitarku. Dan senyuman yang paling aku sukai adalah senyuman ibu
dan ayahku, senyuman hangat penuh kelembutan. Di saat sedih ataupun senang,
mereka selalu tersenyum seolah menerima kenyataan apapun yang sedang mereka
jalani.
Dua puluh tahun lalu, aku kehilangan senyuman itu,
senyuman hangat yang tidak bisa kunikmati lagi. Orangtuaku meninggal akibat
kecelakaan mobil. Sudah dua puluh tahun aku tumbuh besar tanpa kasih sayang dan
senyuman hangat mereka. Aku dirawat oleh tanteku, dan saat memasuki masa
kuliah aku lebih memilih tinggal di apartemen kecil bersama temanku, Elif. Kami
menyewa apartemen murah di daerah Eyüp Sultan. Kami sama-sama berkuliah di
Universitas Istanbul Jurusan Psikologi dan kami juga bekerja sebagai tour guide
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan uang sewa apartemen.
Elif perempuan normal biasa, dia bisa
mendengar dan juga pintar. Dia pindah ke Istanbul saat masuk kuliah. Setiap
libur musim panas dia pulang ke rumah orangtuanya di Ä°zmir dan tidak jarang dia
mengajakku ke rumahnya. Orangtua Elif sangat ramah kepadaku, Elif sungguh
beruntung karena mempunyai orangtua seperti mereka. Dengan kehadiran orangtua
Elif di hidupku, sedikit banyak aku bisa merasakan kembali kasih sayang seorang
ayah dan seorang ibu.
No comments:
Post a Comment